Mualaf

Mike Clercx: Mukjizat Alquran Mengantarkannya pada Islam
Kamis, 08 Maret 2012 17:29 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 29 Juli 2011, tiga hari menjelang Ramadhan 1432 H, Mike Clercx (23 tahun) menorehkan sejarah baru dalam hidupnya. Pemuda berkebangsaan Belanda itu memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Seusai shalat Jumat, Mike yang mengenakan kopiah hitam, baju koko, dan celana berwarna putih duduk bersila di hadapan sejumlah jamaah Masjid Sunda Kelapa Jakarta Pusat. Di antara jamaah yang hadir adalah kerabatnya di Indonesia, sedangkan sebagian lagi jamaah yang kebetulan menunaikan shalat Jumat di masjid tersebut.

Sesaat sebelum mengucapkan dua kalimah syahadat, Mike tampak sedikit gugup. Ketika detik-detik itu tiba, dengan fasih dan lantang ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam. ‘’Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah,’’ ucapnya.

Sejak itu, Mike resmilah menjadi seorang Muslim. Ketegangan yang sempat menghinggapinya berubah menjadi kebahagiaan. Rona kegembiraan terpancar dari wajahnya. Senyum yang mengembang di wajahnya menandakan betapa leganya perasaan Mike.

‘’Lega,’’ ujar Mike kepada wartawan Republika, Friska Yolanda yang ikut menyaksikan ikrarnya menjadi seorang Muslim. Senyum dan kebagiaan pun terpancar dari wajah-wajah jamaah yang turut menyaksikan kebulatan tekad seorang pemuda Eropa menjadi seorang Muslim. Satu per satu jamaah pun menyalami dan mengucapkan selamat kepada Mike.

***


Mike berkenalan dengan Islam sejak tiga tahun silam, saat menginjakkan kakinya di Indonesia. Awalnya, pemuda yang masih berkuliah itu sama sekali tak mengenal agama terbesar kedua di dunia itu. Menurut dia, Islam yang dikenalnya di negeri Kincir Angin sangatl berbeda dengan yang ditemuinya di Indonesia.

‘’Mereka lebih menutup diri dan dianut oleh komunitas tertentu,’’ ujar Mike. Namun, sejak kedatangannya ke Indonesia, pandangannya terhadap Islam mulai berubah. Ternyata, umat Muslim di negeri yang pernah menjadi jajahan nenek moyangnya itu justru terbuka.

Adalah keluarga Herina Fauza, sahabatnya di Indonesia, yang membuka mata Mike untuk mengenal Islam. Sambutan keluarga Herina yang ramah dan bersahabat menghapus pandangan negatif Mike terhadap Muslim yang ada dalam pikirannya.

“Mike merasa senang ketika keluarga saya menyambutnya seperti keluarga sendiri. Karena memang seperti itulah seharusnya seorang Muslim menyambut tamu mereka,“ ujar Herina.

Perlahan namun pasti, Mike mulai tertarik untuk mengenal Islam. Mahasiswa jurusan Bisnis IT itu amat tertarik ketika mendengar cerita-cerita mengenai sejarah Islam dari Herina.

Menurut Mike, sahabat yang dikenalnya dari forum diskusi di internet itu banyak bercerita tentang sejarah Islam, seperti bagaimana Siti Hajar memperoleh air di tanah kering MaKkah untuk putranya Ismail, atau tentang kisah hidup dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Kisah-kisah itu membuat rasa ingin tahu Mike terhadap Islam semakin bergelora. Diam-diam, ia mulai mencari kebenaran kisah yang diceritakan Herina. Ia melakukan banyak studi literatur untuk memperoleh kebenaran tersebut.

Mike makin dibuat penasaran, ketika Herina juga menceritakan mengenai keilmiahan Alquran. ‘’Dia bercerita bahwa dalam Alquran pun terdapat khasiat madu atau penjelasan ilmiah lainnya yang banyak baru diketahui di era modern,’’ tutur pria bertubuh jangkung itu.

Untuk membuktikannya, Mike mulai membuka-buka Alquran dan mencoba memahami terjemahannya. Hidayah Allah SWT mulai terpancar dalam hatinya. Ia merasakan kagum terhadap agama samawi ini. Namun, ketika itu dirinya tidak berani membaca Alquran lebih banyak.

‘’Saya sempat takut nanti salah interpretasi,’’ tuturnya. Penelitiannya terhadap Islam berlangsung cukup lama. Mike membutuhkan waktu sekitar 2,5 tahun sebelum akhirnya benar-benar yakin untuk menjadi seorang Muslim. Selain membaca literatur-literatur keislaman, Mike juga banyak berdiskusi mengenai agama Islam bersama beberapa ustaz. Semua itu dilakukannya selama berada di Indonesia.

***

Mike dikenal sebagai pria yang mandiri dan berpendirian teguh. Ketika akan masuk ke dalam sesuatu, ia harus memahami terlebih dahulu apa yang akan dijalaninya. Begitu pula dengan Islam. Ia harus benar-benar memahami Islam terlebih dahulu, sebelum menjadi bagian darinya.

Mike pun belajar berpuasa dan shalat. Untuk gerakan dan bacaan shalat. Mike belajar dari ayah Herina. Tidak ada kesulitan yang berarti ketika Mike belajar shalat. Dia juga bertemu dengan seorang ustaz di Al-Azhar untuk mengajarinya shalat. Maka setelah menjadi Muslim, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya sebagai seorang Muslim tak lagi menjadi masalah.

Begitu pula dengan berpuasa. Pada tahun pertama kedatangannya ke Indonesia, Mike sempat berpuasa selama tiga hari. Ia menjalaninya dengan lancar. Tahun berikutnya, Mike kembali ikut berpuasa, meskipun belum benar-benar memeluk Islam. Kali itu, ia berhasil menamatkan puasanya sebulan penuh.

Saat itu, Mike sedang menjalani intensif di dalam satu non government organisation (NGO) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup selama enam bulan. Kebetulan, ketika itu masuk bulan Ramadhan. Atasinisiatif sendiri, ia pun ikut berpuasa.

“Dia ikut bangun ketika sahur dan makan di warung sederhana di dekat kostnya,“ tutur Herina. Maka Ramadhan pertama Mike sebagai seorang Muslim pada tahun ini bukanlah hal yang berat, karena ia sudah mengalami dua kali Ramadhan. Bahkan, ia pernah menamatkan puasa satu bulan penuh.

Paling-paling, Mike hanya sedikit mengeluhkan rasa capek yang dirasakan ketika berpuasa sambil bekerja. Jauh sebelum menjadi Muslim, Mike sudah mencoba dan mengetahui apa saja kewajiban seorang Muslim. Ia mengaku tidak ingin ketika menjadi seorang Muslim tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Mike tidak ingin setengah-setengah dalam menjalankan sesuatu. Ia tak ingin menjadi Muslim yang setengah-setengah. Pemuda itu ingin menjadi Muslim seutuhnya. Lalu bagaimana Mike memutuskan menjadi seorang Muslim?

‘’Keinginan itu muncul beberapa bulan lalu,’’ kata Mike. Hatinya merasa yakin dengan kebenaran ajaran Islam. Tidak ada lagi keraguan dalam diri Mike terhadap Islam. Dan tiga hari sebelum Ramadhan, ia pun mengucapkan syahadat. Dua pekan pertamanya sebagai seorang Muslim ia habiskan di Indonesia.

Setelah itu, Mike harus kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya di Universitas Avans, Belanda. Lalu bagaimana tanggapan orangtua Mike di Belanda? Mike mengaku tidak pernah secara langsung mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang Muslim kepada keluarganya.

Sejak masuk Islam, Mike banyak berubah. ‘’Saya tidak lagi merokok, dan memakan babi,’’ paparnya. Orangtua pun menerima keputusan Mike untuk memeluk Islam. Kini, sang ibu mulai memisahkan hidangan untuk Mike yang tidak lagi mengonsumsi babi. ‘’Mereka akan mengerti,’’ ucap Mike sembari tersenyum.


Redaktur: Heri Ruslan

STMIK AMIKOM


Kepala Suku Asmat Masuk Islam
Minggu, 19 Pebruari 2012 11:37 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JATIBENING -- Acara pengukuhan agama Islam yang dilakukan Kepala Suku Besar Asmat, Sinentius Kayimter, di Masjid Darussalam, Komplek Tamansari Persada Raya, Jatibening, berlangsung haru dan khidmat. Acara dipandu oleh Imam Masjid Istiqlal, Ustadz H. Ali Hanafiah, Ahad (19/2).

Pembacaan dua kalimat syahadat dilakukan percobaan sebanyak dua kali. Setelah itu, pembacaan syahadat yang sakral itu akhirnya baru lah terucap dari mulut Sinentius.

Sinentius pun diberikan nama Islam yaitu Umar Abdullah Kayimter. Pemberian nama tersebut didasarkan atas rembukan para jamaah DKM Masjid Darussalam.

Kemudian pembacaan syahadat dilanjutkan dengan sang istri yang memiliki nama Islamnya Aisyah Chairunnisa Atem. Meskipun pembacaan agak tersendat karena kendala bahasa, namun Aisyah akhirnya disahkan menjadi seorang Muslim.

Suasana haru pun semakin menjadi ketika sang anak, Salim Abdullah Siwir, mencoba melafalkan dua kalimat syahadat. Air mata bocah berusia 12 tahun tersebut tak terbendung. Namun karena air mata harunya tak terhenti, maka pelafalan tersebut dibatalkan.

"Hal itu disebabkan Salim belum berusia balig sehingga belum ada kewajiban dari sang anak untuk melafalkan syahadat. Selain itu, dia masih dibawah asuhan kedua orang tua", ujar Ustadz Ali.

Setelah pengucapan dua kalimat syahadat usai, acara dilanjutkan penandatanganan sertifikat ikrar masuk Islam. Acara ditutup dengan pemberian santunan mualaf dan tiga tiket umroh dari jamaah DKM Masjid Darussalam.

Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: Rachmita Virdani


Abdul Raheem Green: Ku Menemukan Tujuan Hidup dalam Islam
Selasa, 21 Pebruari 2012 10:46 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Apa tujuan hidup di dunia ini?’’

Pertanyaan yang terus berkecamuk dalam hati Abdul Raheem Green itu telah mengantarkannya pada sebuah pencarian spiritual. Bagi sebagian orang, manusia hidup untuk menjadi kaya. Namun, Green tahu itu bukanlah jawaban yang sebenarnya.

‘’Benarkah menjadi kaya akan membuat seorang bahagia?’’ tanyanya dalam hati.

Ternyata kekayaan tak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Banyak orang kaya di dunia ini, tapi mereka tak merasakan kebahagiaan. Tak mudah bagi Green untuk menemukan jawaban tentang tujuan hidup di dunia ini.

Ia mencari jawaban atas pertanyaannya melalui jalur spiritual. Ia sempat berganti-ganti agama untuk mendapatkan jawabannya. Namun, beberapa agama yang sempat disinggahinya tak mampu memberikan jawaban. Di akhir pencariaannya, ia berkenalan dengan Islam.

Hati Green pun terpikat kepada Islam. Agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW itu mampu memberinya jawaban atas pertanyaan yang selalu mengusik kehidupannya. Lantas bagaimanakah Islam menjawab pertanyaan seorang pria bernama Green?

Green terlahir dalam sebuah keluarga yang menganut Katholik Roma. Keluarganya sangat patuh terhadap ajaran agama. Ayahnya seorang tentara dan ibunya adalah seorang polisi di salah satu kota di Inggris.

Kedua orangtuanya bersepakat untuk membesarkan buah hatinya dengan agama nilai-nilai agama. Mereka memasukkan Green ke sekolah asrama Katholik. Sekolah asrama itu cukup terkenal di Inggris. Green pun cukup senang belajar di sekolah tersebut.

Selain menimba pelajaran umum, Green dan murid-murid lainnya harus mengikuti pelajaran, agama seperti membaca Alkitab dan sejarah-sejarah Kristen. Awalnya, tidak ada masalah yang berarti bagi Green ketika belajar di sekolah asrama Katholik itu. Semua mulai berubah, ketika ia berpikir tentang Tuhannya, Yesus.

Green berpendapat sosok Tuhan tidak mungkin bisa mati. Ia juga berpikir bagaimana mungkin seorang Tuhan memiliki seorang ibu. “Kalau Tuhan memiliki ibu, maka ibunya adalah Tuhan dari Tuhan,” pikirnya. Hal ini mengganjal terus hingga ia dewasa.

Ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Lalu, Green berusaha mencari tahu mengapa Tuhan memiliki seorang ibu. Akan tetapi, ia tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Orang-orang yang ia tanya tidak dapat menjawabnya.

Mereka hanya meminta Green untuk mempercayai dan mendengarkan apa yang diajarkan padanya. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa takutnya. Green tidak mau menyerah. ‘’Apabila orang lain tidak dapat menjawabnya, maka aku akan mencari sendiri jawabannya,’’ ujar Green.

Ketika usianya semakin beranjak dewasa, pertanyaan lain muncul dalam hidupnya. ‘’Apakah yang menjadi tujuan dalam hidup ini? Apakah hidup itu hanya seperti memiliki pekerjaan bagus, hidup yang normal dan indah serta uang yang banyak? Apakah kehidupan itu seperti itu? Lalu bagaimana dengan kematian?’’

Ia amat yakin sekali bahwa kehidupan yang dijalaninya tak semata untuk mengumpulkan uang, memiliki keluarga, dan menjalani kehidupan monoton sepertu yang banyak dilakukan orang sekarang. Green meyakini ada sesuatu yang lebih dari itu.

Karena tidak menemukan jawabannya dalam Katolik yang dianutnya sejak lahir, Green mencoba mencarinya dalam agama Buddha. Ia mencari tentang kehidupan di agama Shidarta Gautama itu.

Green mempelajari banyak hal dalam Buddha. Meskipun banyak orang menganggap Buddha bukanlah sebuah agama, ia menemukan banyak nilai-nilai positif di dalamnya. Akan tetapi ia tidak menemukan adanya Tuhan dalam agama tersebut. “Meski begitu, saya tetap mempercayai adanya Tuhan, karena saya tahu Dia ada,” kata Green.

Buddha mengajarkan bahwa hidup itu adalah penderitaan. Manusia harus mencari jalan keluar sendiri untuk melepaskan diri dari penderitaan dan mencapai nirwana. Green merasa hal ini tidaklah sesuai dengan hatinya. Memang, ia menemukan banyak ajaran-ajaran baik dalam Buddha.

Tapi kalau hidup yang penuh penderitaan? Green harus berpikir ulang. Ajaran Buddha tidak lagi membuat perasaannya tenang dan Green tidak menemukan jawaban dari pertanyaan fundamentalnya: ‘’Mengapa manusia ada di bumi?’’

Tak puas dengan apa yang ia dapatkan di ajaran agama lain, Green sempat memutuskan untuk membuat agamanya sendiri. Ia mengombinasikan agama-agama dan filosofi yang ia pelajari selama ini menjadi satu dan membuatnya menjadi ‘agama Green’.

“Dan masa-masa itu menjadi pengalaman spiritual terburuk dalam hidup saya,” kenangnya.

Karena tidak menemukan kebenaran juga, Green mulai berpikir mungkin memang tidak ada agama yang benar di dunia ini. Mungkin semuanya memang seperti ini adanya dan ia harus menerima itu. Barangkali di dunia ini tidak ada jawaban yang dapat membuatnya paham mengenai apa yang harus manusia lakukan di dunia dan apa tujuan manusia dilahirkan.

Sempat ia hampir menerima kenyataan bahwa tujuan dalam hidup ini hanyalah mencari uang dan menumpuk kekayaan. Masalahnya, Green bukanlah kaya dan dia belum cukup kaya untuk mencapai ‘tujuan hidup’ yang ia maksud. Ia harus banyak belajar dari orang-orang yang bisa menghasilkan banyak uang.

Ia mengetahui orang Arab sangatlah kaya karena minyak yang dihasilkannya. “Mereka tinggal mengatakan Allahuakbar, lalu uang muncul di depan mereka. Semudah itu,” kata dia.

Terpikir pula olehnya agama yang dianut orang-orang Arab, yakni Islam. Agama ini belum pernah disentuh Green sebelumnya. Karena penasaran, akhirnya Green mempelajari terlebih dahulu agama yang berasal dari Timur Tengah ini, sebelum ia memutuskan untuk menjadi kaya.

Green membeli sebuah terjemahan Alquran di toko buku dan membacanya. Green membacanya berkali-kali dan menemukan ada yang tidak biasa dalam buku tersebut. Green merasa buku ini tidak ditulis oleh sembarang orang. Dari situ Green mulai mempelajari tentang Islam.

Perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa Islam adalah agama yang menjawab semua pertanyaannya. Islam memberinya pedoman dalam kehidupan dan memberikan cahaya pada setiap jalan yang ia tempuh.

Islam juga menjawab pertanyaan Green mengenai Tuhan. Tuhan adalah satu dan ia tidak memiliki ibu juga tidak mati. Tuhan adalah pencipta seluruh alam dan melalui para nabi Tuhan menyampaikan apa yang perlu manusia lakukan di dunia dan apa yang tidak boleh mereka lakukan.

“Saya menyadari buku ini berasal dari Tuhan. Dia telah memberikan jawaban atas pertanyaan saya selama ini.” Ia juga menemukan jawaban atas tujuan hidup di dunia ini, yakni untuk beribadah dan menyembang Sang Khalik, demi mendapat kehidupan yang abadi di Hari Akhir.

Kini, Green berkhidmat dalam Islam. Ia mempelajari Islam dan menyebarkannya. Dakwah adalah jalan hidupnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika



Yusuf A Bonner: Calon Biarawan yang Menemukan Kebenaran Islam
Senin, 20 Pebruari 2012 16:35 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Empat tahun lalu, setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, Yusuf Abdullah Bonner membaca Alquran dan menunaikan shalat secara sembunyi-sembunyi di sebuah biara yang telah menjadi rumahnya selama sepuluh tahun. Ketika itu, ia mengaku cemas keislamannya akan diketahui para biarawan.

Rasa takut lenyap dalam dirinya setelah ia membaca terjemahan surah al-Hadid ayat 27, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya atas mereka akan tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya."

“Setelah membaca ayat itu, aku tahu bahwa aku tidak bisa terus bekerja di sana (biara). Subhanallah," ujar pria yang kini menjadi aktivis dakwah di Inggris itu.
Bonner pun memutuskan untuk meninggalkan biara. Ia berkhidmat menjadi aktivis dakwah dan membantu para 'pendatang baru' (mualaf) ke jalan Islam yang benar.

Bonner dilahirkan di Fulham, London, tanpa keyakinan dan pendidikan berbau agama. Meski tak mengenal agama, sejak kecil ia mengaku memiliki satu perasaan yang samar namun menggema di dadanya. "Bahwa ada Tuhan yang selalu melindungiku."

Perasaan itu membuatnya serius berpikir tentang agama dan spiritualitas saat mulai berusia 20 tahun. Berbagai filosofi yang dinilainya aneh sekaligus mengagumkan diamatinya hingga sepuluh tahun berikutnya.

"Namun kuakui, pada awalnya pemikiran itu sering teralihkan oleh hal-hal duniawi," katanya.

Hingga kemudian ketika Bonner semakin serius mengamati segala bentuk spiritualitas itu, ia mendalami banyak konsep seperti "Neo-Paganisme" (paham yang merepresentasikan keberadaan dan kekuatan Tuhan dengan materi fisik, misalnya berhala) dan gerakan yang menyertainya, hingga meditasi Budha. Pada masa tersebut, Bonner mencoba melihat ke masa lalu dan menyadari bahwa sejauh itu ia tertarik filosofi-filosofi pagan karena ia membenarkan segala hasrat duniawi dan juga egoisme.

"Aku tak membutuhkan terlalu banyak waktu untuk berada dalam paham dan filosifi itu, dan aku segera melanjutkan pencarianku menemukan kebenaran," kata Bonner, yang setelah itu memutuskan mempelajari agama lain. Ia berusia 30 tahun saat mulai mempelajari ajaran Buddha.

Selama beberapa tahun setelahnya, ia mencoba mempraktikkan meditasi Buddha di berbagai sekolah Buddha dan merasa terpanggil untuk kembali melanjutkan pencariannya.
"Aku sadar aku belum menemukan kebenaran waktu itu."
Satu waktu, Bonner mendatangi sebuah gereja. "Aku meminta Tuhan membimbingku."

Tak lama setelah kunjungan ke gereja itu, ia mendatangi gereja Katolik, ia akhirnya terlibat dalam aktivitas kebiaraan. Selama sepuluh tahun lamanya Bonner bekerja di sana dan juga menetap sesekali.

Selama itu, ia berbagi dengan para pendeta dan biarawan tentang doa. "Selama itu pula, aku mengalami keadaan iman yang naik-turun, padahal aku tengah berada dalam proses menjadi seorang biarawan saat itu."

Ternyata Allah punya rencana lain. Pada musim dingin tahun 2006, ia mengalami apa yang disebutnya keruntuhan iman. Ia tetap bekerja di biara meski tak lagi berdoa dan menghadiri kegiatan biara. Namun di balik itu, Bonner terus menerus meminta bimbingan dan pertolongan Tuhan.

"Aku kehilangan kepercayaanku pada ajaran gereja, tapi tetap menyimpan perasaan yang kumiliki sejak kecil, bahwa Allah selalu melindungiku," katanya.

Bonner kemudian melirik Islam dan mulai berbicara dengan beberapa Muslim secara online. "Termasuk dengan mereka yang baru memeluk Islam." Dari mereka, Bonner yang kala itu berusia 41 tahun mulai mempelajari Islam lewat buku-buku yang mereka kirimkan.

"Semoga Allah membalas perbuatan baik mereka itu," katanya.

Begitulah, Bonner mengenal dan mempelajari Islam tanpa bertemu seorang Muslim pun. Hanya dua bulan setelah itu, September 2007, ia pergi ke masjid terdekat dan mengucapkan syahadat.

"Alhamdulillah," ujarnya.

Setelah mengikrarkan kesaksiannya sebagai seorang Muslim, pria yang pernah menempuh studi di University of Kent, Canterbury, ini tetap bekerja di biara, dan tetap tinggal di sana sesekali. Hingga keadaan itu mulai dirasanya sulit.
, "Aku membaca Alquran dengan satu mata yang terus mengamati pintu, kalau-kalau salah seorang biarawan melihatku," katanya.

"Aku juga sholat secara sembunyi-sembunyi, karena tentu mereka tidak bisa menerima keislamanku." Potongan ayat surah al-Hadid ayat 27 kemudian membuatnya sadar bahwa ia harus keluar dari biara.

Keputusan itu menjadi satu hal yang sulit diambil Bonner mengingat ia telah tinggal di sana selama sepuluh tahun. "Para pendeta dan biarawan di sana sudah seperti saudaraku," katanya. Namun ia yakin keputusan itu harus diambilnya. Ia juga berhenti bermain musik di pub yang cukup lama menjadi salah satu kegiatannya.

Semuanya tidak serta merta menjadi mudah sejak itu, dan Bonner justru mengalami sebaliknya. Perubahan drastis dalam hidupnya membuatnya labil. "Dalam bulan-bulan pertama, ada banyak sekali godaan untuk kembali ke kehidupan lamaku. Tapi setelah merasakan kebenaran, rasanya tidak ada alasan untuk kembali hidup dalam kebohongan, senyaman apapun kehidupan itu," katanya.

Bonner bersyukur, semua tak sesulit yang ditakutkannya, dan ia merasa Allah memberinya kekuatan untuk berjuang meninggalkan masa lalunya dan memulai kehidupan baru.
"Ada banyak tantangan sulit di sepanjang jalan yang kulalui, tapi ada banyak juga hal-hal menakjubkan," ujarnya seraya kembali ber-tahmid.

Dengan rahmat Allah, kata Bonner, ia akhirnya dapat bekerja di ladang dakwah, dengan bantuan sejumlah Muslim dari Islamic Education and Research Academy (iERA) yang didirikan oleh seorang mualaf Inggris, Yusuf Chambers. Melalui institusi tersebut, Bonner bisa membantu dan mendukung para mualaf, dan ia mengaku senang dengan itu.
"Allah subhanahu wa ta'ala telah memberkatiku dengan berbagai cara," katanya.

Permasalahan dan tantangan terus mengiringi kehidupan Bonner yang mengubah namanya menjadi Yusuf Abdullah Bonner. Terkadang, katanya, tantangan itu begitu membingungkannya.

"Tapi aku bisa mempertahankan sebuah pengetahuan dasar bahwa, Alhamdulillah, telah membimbingku pada Islam. Selebihnya adalah persoalan nomor dua," katanya.

"Perhatian dan kesibukanku sekarang adalah untuk mereka yang belum berislam, dan mereka yang baru mendapat hidayah untuk memeluk Islam," kata aktivis dakwah yang menikahi wanita Kroasia bernama Sakinah.

"Ada banyak kekuatan dan dorongan yang terus menggoda kita untuk menjauh dari kebenaran. Untuk itu kita harus 'berpegang erat kepada tali (agama) Allah, dan tidak saling bercerai-berai'," ujarnya sambil mengintisarikan sebagian ayat ke-103 surah Ali 'Imron.



Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika


Ahmad Thomson: Ku Temukan Tuhan dalam Islam
Jumat, 17 Pebruari 2012 18:06 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Pemilik nama kecil Martin Thomson ini dikenal sebagai pengacara terkemuka di Inggris. Ia juga mengetuai Wynne Chambers, badan hukum Islam yang didirikannya pada 1994.

Berislam 38 tahun lalu, Thomson meyakini cara terbaik mengamalkan ajaran Islam adalah memahami dan meneladani sumbernya, yakni Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. “Seperti pepatah yang mengatakan bahwa semakin dekat kita pada sumber mata air, semakin murni air yang kita minum,” ujar pria kelahiran Afrika ini.

Dilahirkan di Rhodesia Utara (sekarang Zambia), Thomson menempuh pendidikan dasar serta menengahnya di Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe). Masa awal hidupnya, ia lalui di daerah-daerah terpencil Afrika yang kala itu belum tersentuh peradaban modern, seperti listrik, gas, dan saluran air bersih.

Lahir dan besar di Afrika, Thomson muda merasa tidak puas pada ajaran Kristen. Ia mulai mempertanyakan banyak hal seperti, “Jika setiap manusia itu sama di hadapan Tuhan, lalu mengapa kaum Afrika kulit putih seperti dia harus beribadah di gereja yang berbeda dengan kaum kulit hitam?”

Pertanyaan lain yang kerap mengganggunya sebagai pemeluk Kristen adalah soal ketuhanan Yesus. “Jika Yesus adalah Tuhan, kepada siapa dahulu ia berdoa? Jika Yesus adalah Tuhan dan disalib, lalu siapa yang menghidupi surga dan dunia? Pertanyaan itu tak pernah terjawab selama aku memeluk ajaran Kristen,” ujar lulusan Exeter University, Inggris, ini.

Ketika berusia 12 tahun, Thomson sampai pada satu titik di mana ia memercayai Tuhan dan Yesus. “Hanya saja, aku tidak yakin pada gereja.” Terhenti pada berbagai pertanyaan itu, Thomson mulai membaca apa pun dan memikirkan kehidupan yang dijalaninya sejauh itu. Ia mengunjungi berbagai kelompok spiritual dan mencoba meditasi selama beberapa bulan. “Itu menenangkan, tapi sama sekali tak mengubah gaya hidupku.”

Hingga akhirnya, Thomson bertemu Syekh Abdalqadir as-Sufi (tokoh tarbiyah, penggagas Gerakan Dunia “Murabitun”). Pertemuan itu menjadi awal perkenalannya dengan Islam, agama yang tak pernah terpikirkan oleh Thomson sebelumnya.

Saat berbicara dengan Syekh Abdalqadir dan mendengarkan berbagai hal yang disampaikannya, Thomson merasa telah menemukan jalan menuju transformasi yang ia butuhkan. “Sejak itu, perlahan aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi otakku,” katanya. Thomson pun rutin mengunjungi pusat kajian Islam Syekh Abdalqadir. Ia juga membaca The Book of Strangeryang ditulis Sang Syekh.

Thomson mantap mengakhiri pencariannya pada 13 Agustus 1973. Ia pun mengikrarkan syahadat dan berhaji empat tahun kemudian. Sepulang haji, ia menyelesaikan pelatihannya sebagai pengacara. Lalu, pada 26 Juli 1979, ia dipanggil ke Pengadilan England & Wales dan mulai meniti karier di bidang advokasi dan hukum Islam.

Thomson pertama kali memperoleh perhatian publik pada 2001, saat tampil dalam sebuah film dokumenter berjudul My Name is Ahmed yang menyabet sebuah penghargaan. Ia pun tampil di film dokumenter lainnya, Prince Naseem’s Guide to Islam. Kedua film itu ditayangkan di BBC2 pada Agustus 2001. Setelah itu, wajahnya kerap mewarnai layar kaca dalam berbagai program, terutama program-program Islam.

Kini, hari-harinya diisi dengan aneka kegiatan keislaman, mulai dari memberikan ceramah rutin tentang Islam di berbagai wilayah di Inggris, menulis untuk Jurnal al-Kala, sampai menjadi kontributor tetap dalam konferensi lintas agama yang digelar setiap tahun di Masjid Regents Park dan Pusat Kebudayaan Islam.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika


Amirah Ibrahim: Islamlah Agama yang Selama ini Ku Cari 
Kamis, 16 Pebruari 2012 13:07 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Mosman merupakan sebuah kota kecil di pinggiran Utara Sidney, di negara bagian New South Wales, Australia. Populasi Muslim di kota itu terbilang tak terlalu banyak. Mayoritas penduduk kota itu adalah penganut Yahudi dan Kristen.

Pada 2005 lalu, sempat umat Islam di kota Mosman berniat untuk membeli gedung bekas gereja untuk dijadikan masjid. Seperti diberitakan laman ABC NewsonlineNamun, rencana itu sempat ditentang anggota dewan kota Mosman bernama Dominic Lopez.

‘’Mosman adalah wilayah Yahudi-Kristen dan tak akan mengizinkan orang-orang dengan keyanikan yang lain tinggal di sini,’’ ujar Lopez seperti dikutip ABC Newsonline. Namun, Wali Kota Mosman, Denise Wilton, tak sependapat dengan pemikiran Lopez.

Wali Kota Wilton menilai pendapat yang dilontarkan Lopez sangat mengerikan. Menurutnya, sangat tak berdasar jika seseorang didiskriminasi hanya karena alasan agama. ‘’Dalam demokrasi anda bisa berbeda pendapat. Saya sangat tak setuju dengan pendapatnya,’’ papat Wilton.

Masih banyaknya kesalahpahaman tentang Islam di kota Mosman, tidak menyurutkan niat Amirah Ibrahim untuk menegakkan ajaran agama yang paling benar, yakni Islam. Sejatinya, Amirah merupakan warga asli Mosman. Ia terlahir dan dibesarkan di kota itu.

Keluarganya adalah pemeluk Kristen. Amirah Ibrahim bukanlah nama pemberian dari orangtuanya. Nama itu disandangnya setelah ia resmi memeluk Islam pada Agustus 2003 silam. Sejatinya, kedua orangtuanya memberinya nama Lucie Thomson.

Amirah mulai mengenal dan mempelajari Islam pada 2001. Hidayah Allah SWT menerangi kalbu wanita yang awalnya bernama Lucie Thomson itu. Ia mengaku mulai tertarik untuk mengenal Islam. Keputusannya untuk mempelajari Islam diakuinya sebagai sebuah pilihan yang sangat bertentangan dengan orang-orang di sekelilingnya.

Hingga akhirnya, pada 2003, Lucie Thomson mengucap dua kalimah syahadat. Ia resmi memilih Islam sebagai keyakinan barunya. Setelah memeluk Islam, Amirah mengaku tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan secara langsung perihal keyakinan barunya itu kepada kedua orangtuanya.

‘’Ketika itu saya tidak berani untuk bertatap muka dengan mereka dan mengatakan langsung bahwa saya telah menjadi seorang Muslim. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah menyampaikan kabar tersebut melalui surat,’’ ungkap Amirah seperti dilansir harian Sidney Morning Herald.

Kepada surat kabar Australia, Amirah mengkisahkan pengalamannya dalam menemukan hidayah. Sebelum memeluk Islam, Amirah tergolong umat Kristiani yang taat. Dia tidak pernah meninggalkan acara keagamaan yang diselenggarakan oleh Gereja Anglikan di sekitar tempat tinggalnya. Ia adalah jemaat yang rajin.

‘’Saya selalu percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi tidak pernah yakin mana iman agama yang tepat untuk saya,’’ ujar Amirah. Terdorong oleh keinginan kuat untuk mencari keyakinan yang dirasakan sesuai dengan hatinya, Amirah pun memutuskan untuk mempelajari kitab suci umat Islam, Alquran.

Keinginan untuk mempelajari Alquran ini juga dikarenakan pacarnya pada waktu itu mengikuti ajaran Druze, sebuah keyakinan agama yang banyak dianut oleh sejumlah kalangan di beberapa negara di Timur Tengah. Para pengikut ajaran ini kebanyakan tinggal di Lebanon, meskipun ada pula komunitas mereka dalam jumlah yang kecil di Israel, Suriah, dan Yordania.

Menurut laman Wikipedia, kelompok itu muncul dari Islam dan mendapat pengaruh dari agama-agama dan filsafat-filsafat lain, termasuk filsafat Yunani. Kaum Druze menganggap dirinya sebagai sebuah sekte di dalam Islam, meskipun mereka tidak dianggap Muslim oleh kebanyakan Muslim di wilayah tersebut.

‘’Seperti halnya pemeluk Islam, kaum Druze ini juga menggunakan Alquran sebagai sumber ajaran mereka. Bahkan mereka juga berbicara dalam bahasa Arab,’’ papar Amirah berkisah. Di tengah perjalanan membina hubungan, Amirah dan sang pacar memutuskan untuk berpisah.

Namun berakhirnya hubungan asmara tersebut tidak membuat keinginan perempuan kelahiran 27 tahun silam itu untuk mempelajari Alquran dan Islam surut. Berkat bantuan dari salah seorang kenalan Muslimnya, ia kemudian dipertemukan dengan seorang guru agama Islam. Dari guru tersebut, Amirah kemudian banyak mempelajari tentang Islam.

‘’Setelah banyak berdiskusi dengan orang ini, saya merasa bahwa ini (Islam, red) adalah keimanan yang selama ini diinginkannya. Apa yang diajarkan di dalamnya rasanya benar. Saya pikir, saya tidak dapat menyangkalnya (lagi),’’ tutur Amirah.

Dengan bantuan seorang kenalannya di Asosiasi Muslim Australia (Australian New Muslims Association) cabang Lakemba, Amirah kemudian mengucapkan syahadat. Saat itu usianya masih terbilang remaja, 18 tahun. ''Setelahnya, kehidupanku menjadi lebih baik,'' ungkapnya.

Amirah yang dulu dikenal sangat pemarah dan kurang agresif ini kini mengaku memiliki tujuan hidup setelah menjadi seorang Muslimah. ''Saya ingin menjadi Muslimah yang lebih baik yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjadi pelayan-Nya.

Keputusan Amirah untuk menjadi seorang Muslimah begitu kokoh dan bulat. Pencarianya telah menemukan sebuah jawaban bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Ia pun mencoba menjalankan syariat Islam dengn sebaik-baiknya, salah satunya mengenakan jilbab.

‘’Mungkin aku satu-satunya perempuan di Mosman yang mengenakan jilbab pada saat itu. Karena aku sendiri belum pernah melihat satu orang perempuan pun di Mosman yang mengenakannya,’’ ujar Amirah berkisah.

Tak hanya mengenakan jilbab. Amirah juga menggubah cara berpakaiannya dari yang sebelumnya serbaterbuka dan menampilkan lekuk tubuh, dengan mengenakan gamis longgar dan panjang. Penampilan barunya tersebut, menurutnya, sempat membuat adik laki-lakinya merasa malu di hadapan teman-temanya.

‘’Sementara sahabatku, pada awalnya sulit menerima kenyataan bahwa aku mengenakan penutup kepala,’’ paparnya. Namun, tantangan itu tak menyurutkan niatnya untuk tetap menutup aurat. Tak mudah memang menjalankan syariat di tengah masyarakat non-Muslim.

Amirah mengaku merasakan orang-orang disekitarnya melihatnyadengan tatapan Tatapan aneh dengan gaya berbusananya. ‘’Orang-orang banyak yang mengangguk dan tersenyum saat saya lewat di hadapan mereka. Bahkan tak jarang anak-anak kecil tertawa ke arahku,’’ ungkap Amirah.

Kendati mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekelilingnya, namun diakui Amirah, dirinya tidak pernah memiliki keinginan untuk membalas semua tindakan buruk tersebut. Ia menyadari betul, bahwa sulit untuk hidup sebagai seorang muslim di tengah-tengah masyarakat yang sudah memberikan cap buruk terhadap Islam dan umat Islam.

''Komunitas Muslim memang kerap menjadi korban dan mendapat perlakuan tidak adil. Tapi perlakuan buruk mereka kepada kami tentunya akan dinilai oleh Allah, dan hanya Allah yang pantas memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka,'' ucapnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Nidia Zuraya

David Sanford Scherer: Gema Takbir Menuntunku kepada Islam
Rabu, 15 Pebruari 2012 17:59 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Gema takbir yang menggema di malam Idul Fitri -- sekitar 17 tahun silam -- telah menggetarkan hati David Sanford Scherer. Kalimah yang mengagungkan Sang Khalik itu membuatnya merinding. Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pria kelahiran Yokohama, Jepang itu memutuskan untuk memeluk Islam.

‘’Langsung saya bilang mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbiran itu, saya memeluk Islam,’’ ujar ayah dua anak itu berkisah kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri.

Tak hanya gema takbir yang membuat David memeluk Islam. Suara azan yang berkumandang setiap lima kali dalam sehari juga telah menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha makanan di Pulau Dewata itu mengaku selalu merinding setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.

’’Makanya, kalau malam takbiran saya nggak di Bali. Karena di sini (Bali, red) kita nggak mendengar suara takbir. Biasanya saya ke Jakarta, mertua saya di Ciputat,’’ papar suami dari Indriani Kuntowati itu.

David hijrah ke Indonesia bersama orangtuanya pada tahun 1980-an. Kedua orangtuanya mencoba berbagai usaha, hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam. Seperti halnya, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan Menteng Dalam.

Ia sungguh amat bersyukur. Betapa tidak. Ia telah menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir dalam keadaan sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, muallaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai, serta 100 persen mengamalkan ajaran Islam.

‘’Itu, karena mereka (muallaf, red) mengetahui bahwa Islam adalah agama terbaik,’’ ungkap mantan pengurus Yayasan Dyatmika Sekar Bawana itu. Menurut David, untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orangtua Muslim harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.

Seringkali, papar David, orangtua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tak melakukannya. Padahal, kata dia, contoh terbaik itu harus dimulai dari setiap orangtua di rumah. ‘’Apa saja kebaikan, harus dicontohkan orangtua, baru anak mengikutinya dengan baik.Tapi kalau cuma perintah, sedang orang tuanya tidak melakukan, itu akan sulit dilaksanakan dengan baik.’’
Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya telah diikuti kedua anaknya. Bahkan, anaknya telah menjadi imam shalat di mushala sekolahnya.

David bersama putranya berhasil memperjuangkan hadirnya mushala di sebuah sekolah nasional plus campuran. ‘’Alhamdulillah, sekarang di sekolah anak saya sudah ada mushala. Itu saya perjuangkan selama satu tahun,’’ tuturnya sumringah.

Pihak sekolah memberi ruangan bekas gudang untuk digunakan sebagai mushala. David pun membersihkan gudang itu dan menyulapnya menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah SWT. ‘’Anak saya sekarang sudah menjadi imam di mushala. 'Alhamdulillah, Allahu akbar,’’ ujar David.

Apa pendapat David tentang umat Islam di Indonesia? Secara jujur, ia mengungkapkan, sebagian besar umat Islam masih memandang seseorang dari materi dan kekuasaan. ‘’Contohnya, saya berseragam dengan memakai baju gamis, orang pikir saya ustadz. Besoknya, saya pakai celana jeans bolong-bolong, saya ucapkan Assalamu'alaikum, mereka nggak mau jawab. Naif sekali.’’

Selain itu, David juga menyayangkan masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum mampu memahami dan mengamalkan tuntunan Alquran. ‘’Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan uang nggak bersih saja, tak malu,’’ cetusnya.

Ia merasa optimistis, Bali bisa menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumat. Bisa jadi, papar dia, itu karena muslim di Bali masih minoritas.

‘’Kalau suatu hari kita jadi mayoritas. Apakah itu akan kendur? Mengapa rumah ibadah di Jawa banyak? Orang berlomba-lomba untuk membuat rumah ibadah, subuh ada jamaahnya tidak? atau hanya takmir masjid saja dua sampai tiga orang?,’’ ucap David.

Menurut dia, bukanlah sesuatu yang mustahil, kelak Bali akan menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, papar dia, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.

Lantas, apa kesannya terhadap peristiwa Bom Bali? Ketika peristiwa Bom Bali terjadi, David mengaku merasakan sedih luar biasa. ‘’Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai mobil pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang pada waktu itu bilang, ‘Wah pak, nanti mobilnya bawa sial!’ Wallahu ‘alam saya bilang waktu itu. Yang penting saya ingin menolong.''

Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. ‘’Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi berkat gotong royong di Bali, Alhamdulillah lancar. kalau saya pribadi tidak seratus persen berkeyakinan bahwa itu dikerjakan kelompok Islam yang fanatik atau radikal. Tapi itu lebih pada upaya menggoyang ekonomi di sini yang cukup mapan,’’ ungkap David.
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. Warga asal Amerika Serikat (AS) yang sejak 17 tahun lalu memeluk Islam itu, saban Jumat mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim, ia berbagi dengan para jamaah shalat Jumat dengan membagikan nasi bungkus.

’’Alhamdulillah, sejak satu tahun lalu secara rutin saya dan kawan-kawan mengunjungi dan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumat,’’ papar David.

Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar sangat semangat berbagi makanan usai shalat Jumat? Menurut David, berdasarkan pengalamannya, seusai Jumatan banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.

Alasannya, kata dia, jam istirahatnya baik dari kantor swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, lanjut David, banyak jamaah salat Jumat yang terburu-buru keluar masjid untuk makan siang, dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.

Nah, David dan kawan-kawannya berusaha memotong alasan untuk segera mendapatkan makan siang itu dengan cara mengantarkan nasi ke masjid. ''Sekarang nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka nggak usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita bisa silaturahim sambil menikmati makan siang,'' ungkap David penuh bahagia.

Berapa lama David dan kawan-kawan bisa mengelilingi seluruh masjid di Denpasar yang jumlahnya tak kurang dari 200 masjid? ''Kira-kira saya membutuhkan waktu selama empat tahu barun untuk bisa mengunjungi seluruh masjid di Denpasar, itu pun dengan syarat setiap Jumat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk bisa mengeliling seluruh masjid di Bali, saya membutuhkan waktu selama delapan tahun.''

Ia merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa atas apa yang ia lakukan bersama-sama temannya itu

Redaktur : Heri Ruslan
Reporter : Damanhuri Juhri

Yulio Muslim da Costa: Mantan Asisten Pastor yang Jadi Hafiz 30 Juz Alquran 
Selasa, 14 Pebruari 2012 17:08 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Man Jadda Wajada.’’ (Barangsiapa bersungguh-sungguh, pastilah ia akan berhasil). Ungkapan seorang bijak yang biasa dihafal kalangan santri itu rupanya benar-benar diamalkan oleh Yulio Muslim da Costa, seorang mualaf asal Tmor Timur. Berkat kesungguhannya, ia mampu menghafal Alquran sebanyak 30 juz.

Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama Katholik yang terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya.

Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.

Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.

Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa.

Tekadnya untuk memeluk Islam sempat terbentur keluarga. Kedua orangtua dan sebagian keluarganya, menentang niat Yulio untuk pindah agama. Namun, halangan itu tak menyurutkan tekad bulatnya untuk menjadi seorang Muslim. Keseriusannya untuk berpindah akidah akhirnya mendapat restu dari kedua orangtuanya.

Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan, perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi (minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung halamannya.

Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria.

Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.

Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.’’

Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum.

Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan.

Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku kecopetan.
Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.

Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek.

Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.

Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.

Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.

Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997.

Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.

Saat itu – pascareferendum -- keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.

Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam
Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur. Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam.

Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk dalam agama Islam.

Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi, karena orang-orang Islam Indonesia memiliki semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, DIY.

Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai sekarang telah membuatnya belajar banyak hal. Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang berjuang di jalan Allah.

Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata, Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang selalu mendukung setiap langkah beliau sampai sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat.

Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim Dacosta.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Damanhuri Zuhri



Hussein Yee: Inilah Agama yang Selama Ini Ku Cari 
Senin, 13 Pebruari 2012 15:06 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab sempat membenci Rasulullah SAW. Umar dikenal sebagai sosok yang keras dan ditakuti kaum Quraisy. Suatu hari, dengan penuh amarah, ia menenteng pedang untuk membunuh Nabi Muhammad. Abdullah an-Nahham al-‘Adawi kemudian mencegatnya di tengah jalan.

‘’Aku hendak membunuh Muhammad,’’ ujar Umar.

“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad?” Tanya Abdullah.

Umar marah mendengar ucapan Abdullah itu. “Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”

“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu, wahai Umar! Sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu.”
Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Di dalam rumah, Fatimah -- saudara perempuannya – bersama sang suami sedang membaca Alquran. Umar sempat mendengarnya. Ia langsung melabrak adik dan iparnya.

“Apa yang kalian baca tadi?’’ Tanya Umar. Adiknya mencoba untuk menutupi apa yang mereka lakukan.

“Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu?” Tanya ipar Umar. Mendengar pertanyaan itu, Umar makin garang. Ditendangnya sang adik ipar dengan keras. Fatimah pun ditampar hingga berdarah. Umar terdiam, ketika adiknya mengucap dua kalimah syahadat di depannya.

Hidayah Allah mulai menyinari hatinya. Umar lalu meminta adiknya untuk menunjukkan lembaran Alquran yang mereka baca. Setelah mandi, Umar membacanya. Hatinya bergetar saat membaca ayat Alquran.

‘’Ini adalah nama-nama yang indah nan suci,’’ ujarnya. Umar pun mengakui kebenaran Islam. Ia bahkan menjadi pemimpin umat Islam, setelah Rasulullah SAW wafat.

***

Kisah masuknya Umar ke dalam Islam di atas telah menginspirasi dan menjadi hidayah bagi Husein Yee. Ia tercengang ketika membaca buku tentang Umar bin Khattab itu. Buku itu dibacanya, karena ia merasa sulit untuk membaca Alquran. Kisah masuk Islamnya umar membuat Yee tertarik untuk mempelajari Islam. ‘’Kitab itu (Alquran, red), pastilah sesuatu yang luar biasa karena mampu mengubah pandangan seseorang,’’ ujar Yee.

Saat itu, Yee sedang mencari kebenaran tentang Tuhan. Ia semakin penasaran untuk mengenal Islam. Ia mencari Alquran dan membacanya. Setelah membacanya berulang-ulang, dalam hatinya tumbuh sebuah keyakinan. ‘’Inilah agama yang selama ini aku cari,’’ ujarnya dalam hati.

Yee merasa Islam lebih rasional dan mampu menjawab pertanyaannya tentang Tuhan. Menurut dia, agama ini sangat tepat sasaran. Islam hanya mengajarkan satu Tuhan, yaitu Allah, dan bukan tiga Tuhan seperti konsep Trinitas. “Saya rasa ini sangatlah sederhana,” katanya.

Dalam pandangan Yee, tauhid Islam itu begitu mudah dan sangat sederhana. Untuk menjadi Muslim, kata dia, seseorang hanya perlu mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia makin terpesona dengan ajaran yang disebarkan Nabi Muhammad SAW itu, karena Islam tidak mengajarkan kekerasan, tetapi perdamaian dan saling menghormati.

Yee pun menyadari bahwa Islam bukanlah sebuah agama eksklusif yang hanya dimiliki atau dianut oleh satu kelompok tertentu. Menurutnya, Islam adalah sebuah agama yang universal. Allah SWT – Tuhan umat Islam -- tidak hanya untuk orang Arab, tetapi juga untuk orang Cina, Negro, dan semua orang di atas bumi ini. ‘’Islam adalah agama untuk semua umat di bumi,” tuturnya.
Jauh sebelum memeluk Islam, Yee adalah penganut Buddha. Ia mulai melakukan pencarian, setelah merasa agama yang dipeluknya itu tidak lagi memuaskan hatinya. Ia menilai, ajaran agamanya sudah tak lagi sesuai dengan yang diajarkan Gautama.

Menurut Yee, Gautama bukanlah Tuhan yang harus disembah. Gautama adalah seorang Pangeran yang berkelana mencari kebenaran. Lalu ia mendapatkan ‘pencerahan’ dan dijuluki Sang Buddha. Ia memberikan ajaran-ajaran yang ia peroleh dari semedinya kepada orang-orang.

“Ia (Gautama) tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan,” kata Yee dalam acara The Deen Show. Menurut dia, dalam menjalani kehidupan beragama, seseorang harus benar-benar mendalami agama.

Ia mendalami agama tradisionalnya dengan bekerja di biara. Lama mengabdi pada biara membuatnya sadar bahwa apa yang dilaksanakan orang-orang sudah melenceng dari ajaran Gautama. ‘’Orang-orang mulai memuja dan berdoa kepada Gautama, yang sama sekali tidak mengizinkan orang untuk memujanya.’’

Dengan perasaan kecewa, ia lalu pindah keyakinan menjadi seorang penganut Kristen, agama yang banyak dipeluk penduduk di Cina. Di awal menjadi seorang kristiani, pria yang berusia sekitar 60 tahunan itu menganggap Kristen sebagai agama yang indah. “Saya rasa sangat indah karena Kristen mengajarkan tentang cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama serta tetangga,” kenangnya.

Selain itu, menurut Yee, Kristen adalah agama yang ‘bebas’. Hanya dengan mengatakan percaya dengan agama tersebut, kata dia, bebas melakukan apapun yang dimauinya. Ketika seseorang melakukan kesalahan, lalu dia melakukan pengakuan di depan pendeta, maka dosanya akan hilang dan dia bersih kembali. ‘’Itu mudah,’’ tuturnya.

Ia lalu mengajarkan agama Kristen kepada orang-orang di sekitarnya. Ia pun sempat berkomitmen dengan sekolah misionaris untuk menyebarkan Kristen. Yee sempat berpikir dirinya akan menjadi orang yang sangat egois apabila menyimpan sendiri agamanya.
Yee pun kembali ke lingkungannya dan menyebarkan Kristen kepada mereka. Untuk menjadi seorang misionaris, Yee mengaku perlu mempelajari banyak hal tentang Kristen. “Saya harus mempersiapkan diri dan belajar lebih dalam mengenai Kristen dan Trinitas yang menjadi inti dari agama cinta ini,” ceritanya.

Kegundahan kembali menerpa hatinya, ketika Yee mempelajari Trinitas. Tidak mudah baginya untuk menerima konsep ‘’Tiga Tuhan’’ ini. Sulit baginya mempercayai seseorang yang menjadi Tuhan dan Tuhan yang menjadi seorang manusia yang fana. Kegalauan itu disampaikannya kepada seorang pendeta.

Kepada pendeta itu, Yee bercerita betapa hatinya sulit sekali menemukan kebenaran akan Kristen. Pendeta tersebut berkata pada Yee, “Bersabarlah, Roh Kudus akan datang padamu dan memberikanmu pencerahan.” Yee pun menunggu dan menunggu akan kedatangan Roh Kudus. Akan tetapi, yang ditunggunya tak kunjung datang.

Padahal, ia ingin sekali menyebarkan Kristen kepada teman-temannya. Saat itu, Yee bahkan berpikir mereka akan masuk neraka apabila tidak menganut Kristen. ia menganggap orang-orang itu tersesat.

Pada saat yang sama, Yee memiliki teman-teman Muslim. Namun, ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang Islam. Awalnya, Lee berpikir bahwa Islam adalah agama untuk orang-orang tertentu saja, bukan agama untuk semua orang.

Ketika masih mempercayai Kristen, ia ingin sekali mengajak teman-temannya yang Muslim untuk berbagi agama yang dipeluknya. Ia ingin mengatakan, “Tuhan mati untuk menyelamatkan kita semua.” Yee pun diam-diam mempelajari agama Islam.

Sayangnya, kata dia, pada era 1960-an, orang-orang non-Muslim tidak dibenarkan membaca Alquran. Hingga akhirnya, ia membaca buku tentang Umar bin Khattab. Sejak itulah, Yee mulai menemukan apa yang dicarinya selama ini. Ia menemukan kebenaran dalam Islam.

Menurutnya, Islam adalah agama perdamaian, karena ia diciptakan untuk semua. Bagi Yee Islam adalah sebuah akronim dari I Shall Love All Mankind (Saya mencintai seluruh umat). Kini, Yee menjadi seorang ulama. Di berbagai tempat dan kesempatan, ia selalu menyampaikan dakwah Islamiyah.
Menurut Yee, Sidharta Buddha Gautama bukanlah Tuhan. Gautama, kata dia, mempercayai bahwa Tuhan itu satu (monoteisme). Dalam perjalanannya, lanjut Yee, Gautama selalu berdoa kepada Pencipta.

Kata dia, dalam darma Gautama pun juga diajarkan adanya qada dan qadar, yang disebut sukha dan dukkha. Yee mencontohkan ketika seseorang berbuat kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala atas kebaikannya dan begitu pula sebaliknya.

Dalam penelitiannya terhadap Budha dan Islam, Yee merasa ada suatu keterkaitan antara keduanya. Sebagian besar ajaran Gautama mengarah ke ajaran Islam, tauhid. Dan ia percaya Gautama adalah satu dari ratusan Nabi yang Allah turunkan ke atas dunia untuk menyebarkan agamanya.

Hal ini diyakininya, karena ia percaya Allah tidak hanya menurunkan Nabi di Arab saja, tetapi di seluruh penjuru dunia, termasuk di Cina. Dan menurutnya, Gautama adalah Nabi yang Allah turunkan untuk bangsa Cina agar mengajari mereka tentang agama Allah. “Karena Islam bukan hanya untuk orang Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia,” kata dia.

Maka, ia berusaha untuk mengajak semua orang membaca Alquran. Meskipun bukan umat Muslim, kata Yee, mereka akan menemukan kebenaran di dalam Alquran tersebut.
Yee tidak akan berkomentar ketika seseorang atau kerabatnya menganggap orang Muslim itu jahat atau buruk. Karena sama seperti agama lain di dunia ini, ada Muslim yang baik dan yang buruk. Namun apabila seseorang mengatakan Islam itu buruk, maka ia akan marah.

“Seseorang tidak boleh menghakimi Islam itu buruk kalau ia belum benar-benar mengenal Islam,” katanya. ia juga meminta orang-orang untuk membedakan Islam dan Muslim, agama dan negara, serta agama dan tradisi.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Friska Yolandha

Raphael Narbaez: Saksi Yehuwa yang Menemukan Kebenaran Islam (Bag 1)
Selasa, 31 Januari 2012 20:08 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Tak pernah terlintas di benak Raphael NarBaez, pria berkebangsaan Amerika Serikat untuk mempelajari dan bahkan memeluk Islam. Betapa tidak. Dalam dirinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa semua agama, selain yang diyakininya, adalah buruk.

Hingga suatu hari, ia tak lagi meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Narbaez pun memutuskan untuk meninggalkan agamanya. Ia lalu mempelajarinya ulang, dan bahkan sempat tak memeluk agama apapun, setelah itu.

Ia merasa beruntung memiliki satu keyakinan yang tersisa di hatinya. ‘’Aku yakin Tuhan itu ada,’’ ujarnya. Keyakinan itu membawanya pada agama yang Islam, agama yanag diyakininya paling benar.

"Aku yakin, Allah telah merencanakan semua ini bahkan sebelum aku dilahirkan,’’ ungkapnya.

***

Raphael Narbaez adalah pria kelahiran Texas, California, yang segera dibaptis sebagai seorang Katolik, tak lama setelah terlahir ke muka bumi. Maklamu saja, ia berasal dari keluarga Katolik yang taat.

Narbaez tumbuh di Lubbock, wilayah Texas yang memiliki banyak gereja dan dihuni komunitas kuat Kristen. Lingkungan tersebut membawanya menjadi seorang ‘saksi Yehuwa’ (Tuhan orang Yahudi).

'Saksi Yehuwa' adalah sebuah denominasi umat Kristen pemulih kepercayaan milenialisme, di luar ajaran utama Kristen dan tidak meyakini adanyaa trinitas.

Suatu hari, kata Narbaez, pintu rumahnya diketuk oleh beberapa orang. Mereka mengadakan pengajian Bibel di rumah. Setelah pengajian itu, ia dan keluarganya juga mendatangi gereja para 'saksi Yehuwa’. Mereka menghadiri sejumlah pertemuan dan bergabung dengan jamaah kebaktian mereka. Mereka pun menjadi bagian dari para saksi Yehuwa.

Narbaez pun dengan penuh semangat mengkaji Bible. Semakin dalam mengkaji dan mendalami Bibel, ia dihadapkan pada sebuah ironi mengenai kitab sucinya itu.

"Siapapun yang familiar dengan naskah tersebut tahu persis bahwa Bibel telah banyak tercemar di sepanjang sejarah. Namun di sisi lain, aku selalu merasa bahwa Bibel yang asli benar-benar berasal dari Tuhan," katanya. Umat Kristen lainnya pun, kata dia, memuaskan diri dengan pemikiran yang sama, bahwa Bibel yang asli hebat dan logis.

Narbaez mulai belajar lebih banyak dan mendalam Bibel, hingga ia dibaptis sebagai saksi Yehuwa saat memasuki usia 13 tahun. Semenjak itu, ia seperti mendapat suntikan semangat untuk berbuat lebih banyak 'pekerjaan Tuhan.'

"Sesuatu yang tidak biasa terjadi. Aku diakui dan diberkati untuk menjadi pembicara dalam acara-acara kebaktian. Dan aku mulai berbicara di depan jamaat berjumlah besar," paparnya.

Bahkan, ia baru berusia 20 tahun saat memiliki jamaat kebaktian sendiri, dan ia semakin mendalami ajaran tentang 'saksi-saksi Yehuwa. Lalu, setelah melewati banyak kebaktian, doa, dan duka, Narbaez meninggalkan agamanya dan tidak mencoba untuk kembali.

Yang terjadi kemudian, katanya, ia tak dapat berpindah ke agama baru apapun. "Sebagai 'saksi Yehuwa,' aku diajari bahwa semua agama tidak baik, bahwa hanya para 'saksi Yehuwa' yang mampu membawaku pada penerimaan terhadap Tuhan," katanya.
Dengan penuh kesadaran, Narbaez tak lagi mempercayai semua ajaran 'Saksi-saksi Yehuwa,' juga ajaran agama lainnya. Jadilah ia seseorang tanpa agama.

"Untungnya, aku bukan seorang tanpa Tuhan. Aku masih mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan seisi semesta," katanya.

Ia lalu memutuskan untuk kembali ke gereja, tempat di mana ajarannya berasal. "Aku dilahirkan sebagai seorang Katolik dan menjadi seorang 'saksi Yehuwa' sepanjang hidupku, aku kembali ke sana untuk menemukan sesuatu yang mungkin saja telah kulewatkan," katanya.

Tiga bulan lamanya Narbaez menghanyutkan diri dalam doa-doa, kebaktian dan juga misa. Namun, semua itu tidak mengubah keadaan yang dialaminya. "Sama sekali tidak menarik pikiranku, tidak juga hatiku," ujarnya.

Hingga pada satu hari, ia berkesempatan bertemu dengan seorang Muslimah yang selalu tampak gembira dan ramah. "Aku memperhatikannya dan tertarik dengan kepribadiannya. Ia memberitahuku banyak hal tentang Islam."

Setelah itu, tak sedikitpun terbersit niat dalam benaknya untuk memeluk Islam. "Aku hanya berpikir tentang sebuah keinginan menjadi umat Kristen yang baik, dan aku yakin dengan cara Tuhan menjadikanku seorang Kristen taat."

Narbaez pun kembali mendalami Bibel. Ia melakukannya berjam-jam, terutama saat malam. Ia membaca seluruh isi kitab Perjanjian Baru, dan melahap Perjanjian Lama; Genesis (Permulaan), Deutoronomy (Ulangan), Exodus (Kepergian).

Lalu ketika ia mencapai bagian tentang Prophets (Nabi-nabi), Narbaez tiba-tiba ingin mengistirahatkan matanya sambil berpikir tentang pertemuannya dengan Muslimah yang memberitahunya tentang Islam, tentang menjadi seorang Muslim, tentang Alquran, dan tentang Allah SWT.

"Lalu aku berkata, 'Baiklah, aku adalah orang dengan pikiran terbuka sekarang. Aku akan mencari tahu tentang itu, bukan sebagai seorang saksi Yehuwa'," tuturnya.

Mula-mula ia berpikir tentang jumlah Muslim dunia yang mencapai 1,2 miliar. Lalu Narbaez berpikir bahwa ternyata setan tak terlalu hebat untuk bisa memperdaya 1,2 miliar umat Islam, dan ia pun mulai membaca Alquran untuk mencari jawabannya.

Raphael menuntaskan bacaannya, dan mulai menemukan jawaban lebih dari yang diharapkannya. "Segala sesuatunya menjadi jelas. Bahkan, aku bisa memahami Bibel-ku setelah membaca Alquran," tegasnya. Dan Narbaez menyimpulkannya sebagai cara Tuhan menjadikannya seorang umat Kristen yang baik.
"Tuhan mengajariku lewat Alquran."
Raphael terus membaca Alquran. Menurutnya, isinya lebih mudah dan lebih ringkas daripada kitab yang sering dibacanya. "Aku mulai meninggalkan Bibel yang pernah kuyakini sebagai perkataan Tuhan."

Bersamaan dengan itu, Narbaez memiliki keinginan untuk menemui orang-orang Islam pemilik kitab suci tersebut. Ia memilih masjid sebagai tempat yang tepat untuk bertemu mereka, untuk memeriksa kebenaran informasi yang pernah dikatakan oleh wanita Muslim yang pernah ditemuinya.

Dengan menggunakan mobil, Narbaez mendatangi sebuah masjid di California bagian selatan. "Perutku menegang, rasanya seperti ketika kita diharuskan melakukan sesuatu sedangkan kita tidak menginginkannya," katanya.

Sambil berputar beberapa kali melewati masjid, ia kemudian mencari-cari alasan untuk membatalkan niatnya memasuki masjid tersebut. Ia mendapatkan sebuah alasan. Area parkir masjid tersebut penuh.

‘’Aku akan berputar sekali lagi. Jika tidak ada mobil yang keluar dari halaman masjid, aku akan pulang."

"Allah Maha Berkehendak," ujarnya.

Ia menceritakan, saat melintas di depan masjid untuk terakhir kalinya, sebuah mobil keluar. Ia menjadi jauh lebih cemas dari sebelumnya. Namun ia menepati janjinya.

Narbaez menghampiri sekelompok orang yang berbaur di dalam masjid usai shalat berjamaah, saat beberapa di antara mereka menyambutnya sambil mengucap salam. Seseorang yang menyadari bahwa Narbaez adalah orang baru di sana, menggandengnya, mengajaknya berkeliling masjid, dan mengajarinya berwudhu.

Ia terkesima sekaligus takjub. "Aku suka cara mereka (Muslim) menyucikan diri, dan semua amalan yang mereka lakukan," ujarnya. Ia kagum dengan gerakan ruku dan sujud, yang dimaknainya sebagai ekspresi makhluk yang tidak berdaya di hadapan Tuhan.

Dalam hatinya muncul keinginan yang kuat untuk berdoa dengan cara yang dilakukan Muslim. "Saya merasa seperti pulang kembali ke rumah setelah lama bepergian." Raphael mantap berislam tak lama setelah itu.

Kemantapan hatinya itu, kata Raphael, bermuara pada Alquran dan hadis. "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat," ujar Raphael mengutip surah favoritnya, an-Nasr.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini

Roger Hadden: Trinitas Membawaku Memeluk Islam 
Kamis, 26 Januari 2012 19:23 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Roger Hadden adalah seorang dokter gigi berasal dari Dungannon, Irlandia Utara. Ia membuka praktek dokter giginya di Inggris. Namun, ia telah lama tinggal di Skotlandia.

Hadden dibesarkan dari keluarga Kristen, dan ia adalah telah memutuskan menjadi Kristen sejak lahir. Meskipun dibesarkan dengan ajaran Alkitab, namun ia tidak terlalu mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan.

Hadden layaknya pemuda Inggris kebanyakan, sangat suka bersenang-senang tanpa mengenal batas. Ketika remaja ia mengaku tidak menjalankan agama apa pun, termasuk Kristen. “Saya selalu percaya bahwa Tuhan itu ada,” ujarnya.

Ia meyakini alam semesta ada penciptanya dan manusia tidak bisa menciptakan dirinya sendiri. Ketika terus berusaha berpikir tentang Tuhan dari waktu ke waktu, Hadden selalu terganjal dalam keyakinannya.

Ketika melanjutkan studi ke jenjang universitas, ia bertemu banyak Muslim. Pada saat itu ia dan teman-teman Muslimnya terus bergulat dalam diskusi yang membahas tentang keyakinan. Hadden sangat menikmati diskusi-diskusi tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, Hadden ingin bersikeras memperdalam keagamaannya dan keyakinan Kristennya.

Ketika memasuki tahun terakhir kuliahnya di universitas, Hadden membuat rencana untuk mereformasi keyakinannya dan menjadi seperti orang tuanya dulu; Kristen taat. Dan ia memutuskan untuk memulai memahami bacaan Alkitab.

Ia memulainya dengan memantapkan konsep Trinitas, yang selalu mengganggu pikirannya. Karena pada waktu itu pemahaman agama Kristennya masih awam, kadang ia cukup bingung untuk berdoa. “Apakah doa saya akan ditujukan kepada Tuhan Bapa atau Yesus,” ujarnya.

Hadden kemudian berbicara dengan beberapa pemuka agama Kristen, untuk mendapatkan penjelasan akan konsep Tritunggal. Namun, tak satu pun dari mereka yang dapat meyakinkan dirinya.

Ia kemudian memutuskan untuk terus membaca dan memahami Alkitab, dengan mencari kebenaran di dalamnya.

"Masalah Trinitas membingungkan saya. Karena mengapa semua Nabi dalam Perjanjian Lama berdoa kepada Tuhan dan melakukan tindakan benar berharap pengampunan Tuhan? Dan tidak ada yang berdoa kepada Yesus?" gusarnya.

Bahkan tidak disebutkan kata 'Trinitas' dalam Perjanjian Lama, dan sebagian pemuka Kristen bahkan berpendapat tidak ada dalam Perjanjian Baru. Hadden tahu, Tuhan tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang, jadi pasti ada yang salah dengan ini.

Hadden kemudian berbicara dengan teman-temannya di Universitas. Beberapa mereka beragama Sikh, Katolik, ateis, dan beberapa juga ada yang Muslim. Keingintahuan telah merubah hidup Hadden sepenuhnya, dan ia menemukan jawaban dari sahabat Muslimnya.

Dalam Islam diperintahkan menyembah satu Tuhan, yang tidak memiliki mitra atau partner dengan-Nya. "Saya sangat tertarik dengan konsep ini," kata Hadden. Namun, Hadden terus membaca Alkitab dan membandingkan sumber-sumber Kristen dengan Alquran dan buku-buku Islam.

Ia menemukan bahwa Muslim percaya Tuhan mengirim pesan kepada umat manusia melalui para nabi yang berbeda sejak Adam, manusia pertama. Dan semua nabi itu hanya percaya pada satu Tuhan, Allah SWT. Dan Muslim juga percaya bahwa akan ada hari perhitungan di akhir dunia nanti, ketika semua orang akan dibangkitkan dan dihakimi.

"Saya menyadari bahwa inilah yang saya percaya. Dan apa saya pikir, seperti inilah Alkitab berkata pada saya," kata dia. Hadden kemudian mendiskusikan hal-hal tersebut dengan kedua orang tuanya, namun mereka tidak terlalu terkesan.

Beberapa bulan memperoleh karunia dan hidayah Allah, Hadden memantapkan hati untuk menjadi seorang Muslim. Ia pun memutuskan memeluk Islam.

Ia meyakini keputusannya ini adalah langkah yang tepat. "Alhamdulillah, terima kasih Allah," ujarnya.

Hadden kini mencoba menjadi Muslim sejati dan berusaha membantu orang lain. Hari-harinya diisi dengan ibadah, shalat lima waktu dan tadarus (membaca) Alquran. Teman-teman Hadden di universitas sempat terkejut dengan perubahannya, terutama sejawatnya di kedokteran gigi.

Orang tua Hadden pun marah besar, mereka percaya sang anak sudah dicuci otaknya. Ia ingat ketika pertama kali memberi tahu orang tuanya bahwa ia memilih menjadi seorang Muslim, mereka tidak terlalu terkesan.

Kedua orang tuanya mengatakan langkah Hadden itu adalah "tindakan yang dibenci agama". Namun, itu tidak menyurutkan langkah sang dokter gigi untuk menjadi pengikut Rasulullah. Beberapa bulan kemudian ia memutuskan bersyahadat.

Walaupun sejak masuk universitas Hadden selalu berjauhan dengan orang tuanya, tetapi ia terus mencoba untuk mengunjungi mereka. Kini, ia merasa hubungan dengan orang tuanya telah membaik. Sebab, berlaku baik kepada mereka (orang tua) adalah perintah Allah dalam Alquran.

"Saat ini saya bekerja sebagai dokter gigi di Inggris. Dan telah menikah dengan seorang wanita Muslimah setahun yang lalu. Dan berkat karunia Allah, kami dianugerahi seorang anak bernama Ismael," tuturnya.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Amri Amrullah


Julianne Scasny: Hatiku Bergetar Ketika Membaca Alquran
Kamis, 26 Januari 2012 16:03 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari, Julianne Scasny mengikuti kelas sejarah. Tema yang dipelajari hari itu tentang sejarah agama-agama besar di dunia. Di depan ruang kelas, sang guru tengah menjelaskan agama Islam. Saat guru itu tengah asyik bercerita tentang Islam, seorang teman Julianne protes.

Siswa yang berasal Mesir dan beragama Islam itu tak sependapat dengan penjelasan gurunya. Pelajar Muslim itu mengoreksi dan meluruskan informasi yang salah tentang Islam. ‘’Wow, dia berani sekali membantah guru,’’ ujar Julianne. Sejak terjadi perdebatan antara temannya yang Muslim dengan guru sejarah itulah, wanita kelahiran Michigan, Amerika Serikat (AS) tersebut mulai tertarik pada Islam.

Julianne sangat penasaran dengan Islam. Pada suatu hari, ia pun bertanya kepada temannya yang beragama Islam tentang perbedaan antara Katolik -- agama yang saat itu dianutnya -- dan Islam. Sayangnya, temannya itu tak banyak memberi penjelasan. Rasa ingin tahunya tentang Islam pun tak terpenuhi.

Ia tak menyerah. Untuk mencari tahu tentang Islam, Julianne pun mengunjungi rumah teman sekelasnya yang Muslim itu. Ia lalu meminjam Alquran dari orangtua temannya. Tentu saja, Alquran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Hati Julianne bergetar saat membaca Alquran. Gadis pecinta sastra dan pemuja puisi itu sangat terpesona dengan bahasa kitab suci umat Islam yang amat indah. Ketertarikan pada keindahan bahasa Alquran mendorongnya untuk membaca seluruh ayat-ayat suci itu.

Dalam kalbunya terbesit sebuah keyakinan. ‘’Anda kitab ini ditulis dalam bahasa Inggris, sekalipun, penulisnya tak mungkin seorang manusia. Ini firman Tuhan,’’ ujar Julianne dalam hati. Ia begitu yakin dengan kebenaran dari Alquran. ‘’Dan saya menjadi Muslim di dalam hati,’’ kata wanita pernah berkeinginan menjadi seorang biarawati itu.

Julianne pun mengucap dua kalimah syahadat. Ia bertekad menjadi seorang Muslimah, meski tantangan berat harus dihadapinya. Dalam hatinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar.

Julianne berasal dari keluarga keturunan Polandia-Suriah. Ia terlahir pada 25 April 1982. Ayahnya adalah seorang campuran Polandia dan Slovakia, sedang ibunya seorang Halab, Suriah yang lahir di Detroit. Julianne pun lahir sebagai Katolik di Detroit, Michigan.

Kedua orangtuanya murka begitu tahu bahwa Julianne telah memeluk Islam. Mereka tak bisa menerimanya, terutama sang ibu. Sebenarnya, ia amat berharap orangtuanya dapat menerima Islam sebagai agamanya, namun ternyata sebaliknya.

Ibunya berusaha melarangnya berteman dengan orang-orang Muslim. Sang ibu juga kerap menelepon orangtua temannya agar tak lagi mendakwahkan Islam kepada Julianne. Saat itu, ia begitu bingung. Namun, imannya tak goyah sedikitpun.

Setiap hari sang ayah membongkar kamarnya. Semua barang-barang bernuansa Islam yang ada di kamar Julianne seperti sajadah, hijab, dan Alquran disita ayahnya. Julianne terpaksa menyembunyikan Alquran di ventilasi pendingin udara agar tak dapat terjangkau ayahnya. Ia amat khawatir kedua orangtuanya akan membuang Alquran itu.
Berbagai upaya dilakukan kedua orangtuanya agar Julinanne melepas keyakinannya sebagai Muslim. Mereka berusaha mengajaknya ke gereja. Suatu hari ibunya berupaya mempertemukannya dengan seorang pendeta. Di hadapan pendeta, Juliane mengatakan amat cinta kepada Islam.

‘’Aku tak habis piker. Bagaimana sesuatu yang indah ini (Islam) dianggap buruk oleh orang-orang,’’ ucap Julianne. Pendeta tersebut mengatakan bahwa mimpi Julianne yang pergi ke negara Muslim sambil berhijab adalah perbuatan setan. "Saya tidak dapat melupakan wajahnya, ia terlihat seperti setan ketika ia mengatakan itu,’’ ujarnya menggebu-gebu.

Julianne juga mengisahkan bagaimana ibunya sering berbohong. Sang ibu kerap menghidangkan masakan yang terbuat dari babi, namun mengaku terbuat dari daging sapi. Sebagai seorang Muslimah, Julianne amat selektif dalam memilih makanan. Ia harus memastikan hidangan yang disantapnya halal.

Ia pun memeriksa pembungkus makanan yang dihidangkan ibunya. Ternyata dugaannya benar, masakan yang disajikan itu terbuat dari daging babi. Ayahnya pun pernah membuatnya memilih untuk tinggal di rumah sebagai seorang Katolik atau meninggalkan rumah.

‘’Shalat adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan di rumah, mereka mengolok-olok ketika saya shalat,’’ ujarnya. Sejujurnya Julianne mengaku sangat sakit hati diperlakukan seburuk itu. Keluarganya selalu menghina Islam, agama yang dianutnya.

Julianne mengaku mempelajari shalat dalam bahasa Arab secara otodidak melalui video dan buku-buku. Ia juga mulai menjelaskan tentang Islam kepada adik perempuannya. Mengatui hal itu, kedua orangtua Julianne mengancam akan mengusirnya dari rumah.

Julianne pun berhenti mengajarkan Islam kepada adiknya. Meski begitu, ia sempat mengatakan banyak hal kepada adiknya tentang Islam. Adiknya pun mulai tertarik dan bahkan mulai mempertanyakan sejumlah hal tentang Islam.

Berada di bawah tekanan dari kedua orangtuanya, Julianne pun mulai kesulitan untuk menunaikan shalat. Ia sempat berhenti melakukan shalat. Ia tak pernah berhenti berdoa di dalam hati agar diberi kesempatan untuk mendalami Islam ketika dewasa.

Tidak seorang pun mendukung keislamannya, kecuali orangtua teman-temannya yang meminta Julianne agar mendengarkan nasihat kedua orangtuanya. Teman-teman Muslimnya juga tidak benar-benar mengerti apa yang dialaminya. Barangkali, mereka sendiri belum benar-benar dewasa dan mengerti tentang Islam secara baik.
Ketika usianya menginjak 20 tahun dan sudah berstatus sebagai mahasiswi, doa Julianne yang ingin mendalami Islam terkabul. Ia mendapat kabar di sekitar lingkungannya dibangun sebuah masjid. Untuk memastikan kabar itu, ia menelepon wanita yang memberinya Alquran dan menanyakan tentang masjid yang baru dibangun di dekat rumahnya.

Sebelum berdiri rumah ibadah itu, masjid terdekat di daerahnya tinggal harus ditempuh selama 45 menit hingga satu jam perjalanan. Berdirinya masjid itu membuatnya amat bahagia. Julianne pun memutuskan untuk mengulang syahadatnya sebagai seorang Muslim, tepat pada bulan Ramadhan.

Ia pun berkomitmen akan mendalami Islam dan tidak lagi peduli dengan larangan kedua orangtuanya. ‘’Saya merasa seperti Nabi Yunus yang berada di perut ikan paus. Namun saya bertekad untuk keluar dari kebiasaan buruk itu,’’ kenangnya.

Julianne pun mulai memakai hijab, meski kedua orangtuanya melarang. Iman dalam hatinya sudah mantap. Islam adalah jalan hidupnya. Ia sudah tak lagi menghiraukan perintah kedua orangtuanya untuk meninggalkan Islam.

Agar bisa mengenakan jilbab, terkadang Julianne memakainya di mobil. Ibunya sangat kecewa. ‘’Ia mengatakan aku seperti seorang wanita tua, ketika aku mengenakan hijabku. Ketika ia berusaha mengambil hijab itu dari kepalaku, aku memukulnya. Astaghirullah,’’ tuturnya.

Julianne benar-benar mengalami kehidupan yang berat pada saat itu. Sang ibu menilai dirinya telah membuat malu keluarga. Ibunya mengatakan tidak ingin melihat Julianne di kota tempatnya tinggal.

Ia akhirnya tinggal di rumah neneknya. Lagi-lagi Julianne mengalami kesulitan. Ketika sedang menunaikan shalat, sang nenek berteriak padanya, "Tidakkah kau mendengarku ketika aku berbicara denganmu?"

Mereka menertawakan dan mengolok-oloknya ketika membaca Alquran. Kakeknya, bahkan tidak mau lagi berbicara dengannya. Ibunya sempat membawa Julianne ke seorang psikoterapi. Ia pun diberi obat psikotik. Tentu saja ia tidak mau memakannya, justru membuangnya.

‘’Satu-satunya hal yang dapat ku lakukan agar keluar dari kesulitan ini adalah dengan menikah,’’ tuturnya. Julianne pun mengganti namanya menjadi Noora Alsamman. Pernikahannya pun dilalui dengan sejumlah hambatan.

Ia bertemu dengan seorang Muslim dari Damaskus, Suriah. Sang ibu tidak menyetujui pernikahannya dengan calon suaminya. Julianne memutuskan untuk menikah secara Islam. Hal inilah yang membuat ibunya tidak setuju. Selain itu, suaminya juga adalah seorang Muslim.

‘’Ibu ingin aku menikah dengan seorang Kristen dan melaksanakannya di gereja," tuturnya. Ia ingin melihat anaknya memakai gaun putih dan pernikahan tersebut disahkan di gereja.

Keteguhan hatinya pada Islam membuat pernikahan itu akhirnya berjalan dengan lancar, meskipun sang ibu terus berusaha membatalkannya. Sang ibu memaksa Julianne untuk berpacaran terlebih dahulu dengan suaminya agar mereka saling mengenal.

Setelah menikah, Julianne alias Noora pindah dari Atlanta ke Houston. Setahun kemudian mereka dikaruniai seorang putra bernama Yousuf. ‘’Alhamdulillah, saya berharap, insyaallah bisa pindah ke Madinah,’’ katanya.

Di akun facebooknya, Noora memadukan nama asli dengan nama Islamnya menjadi Julianne Noora Scasny Alsamman. Status-statusnya diisi dengan pesan-pesan keislaman dan rasa syukurnya menjadi seorang Muslimah.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Friska Yolandha


Ulama Pakistan Impikan Seluruh Warga Dunia Jadi Muslim
Selasa, 24 Januari 2012 19:35 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD— Ulama Pakistan, Deen Mohammad Shaikh, mengharapkan masyarakat di seluruh dunia menjadi Muslim. “Adalah kerinduan mendalam bagi saya, bahwa seluruh dunia menjadi Muslim,” kata dia seperti dikutip newkerala.com, Selasa (24/1).

Ulama yang dahulu beragama Hindu ini, mengatakan ia mencintai Alquran tetapi harus membacanya diam-diam saat ia tengah mendalami Islam. Ia khawatir muncul resiko kesalahpahaman jika seorang Muslim mendapatinya tengah memegang kitab suci.

“Saya mencintai Islam. Saya membaca Alquran dan menyadari kehidupan saya sebelumnya tak ada gunanya,” kata dia.

Selanjutnya, ia tergerak untuk menyebarkan Islam kepada siapapun, dengan memimpin lembaga pembinaan mualaf di Masjid Allah Wali dan Madrassa Aisha Taleem-ul Quran.

Melalui lembaga itu, anak-anak diajarkan bagaimana tata cara shalat dan membaca Alquran.

“Alhamudillah saya, telah membimbing 108.000 orang mengucapkan syahadat, tapi apa yang saya lakukan belumlah lengkap lantaran masyarakat seluruh dunia belum menjadi Muslim,” ujarnya.

Redaktur: Hafidz Muftisany
Reporter: Agung Sasongko

Dawud Wharnsby: Alquran Menginspirasiku
Jumat, 20 Januari 2012 17:18 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Selalu mencari cara untuk mengekspresikan diri. Seperti itulah hidup David Wharnsby. Pria yang lahir dan dibesarkan di Ontario, Kanada itu sedari kecil lebih senang mengekspresikan apa yang dia rasakan terhadap banyak hal, daripada harus mendengarkan pelajaran-pelajaran di sekolahnya. Ketika itu, dia lebih senang menulis cerita dan menggambar kartun.

Beranjak remaja, cara David mengekspresikan diri berkembang menjadi fotografi dan teater. Melalui jalur teater itulah bakat bermusik dan menulisnya terasah dengan baik. Di umurnya yang masih belasan, dia mulai mencari apa sebenarnya yang menjadi tujuan hidupnya. Remaja keras kepala ini mulai membaca bermacam-macam kitab suci dan berbagai tulisan yang berhubungan dengan kajian spriritual.

Pada umur 18 tahun, remaja introvet itu betah melek sepanjang malam hanya untuk menulis, mendengarkan musik, dan mempelajari buku-buku berisi ajaran Hindu, Budha, dan Taoisme. Beragam konsep spiritual pun mulai menjejali kepala David. Hal itu kemudian dia keluarkan dalam ekspresi bermusiknya.

David pun mulai banyak menulis lagu dan puisi. Secara otodidak, ia belajar berbagai macam instrumen musik yang kemudian digabungkan dengan lirik-liriknya yang bernada instrospeksi serta suaranya yang sederhana. Lewat lagu-lagunya itu, dia mulai banyak tampil di berbagai cafe, universitas, dan festival rakyat.

Pada 1991, David mulai mencemplungkan dirinya dalam berbagai kegiatan sosial. Mulai dari menjadi pemain boneka dan pengajar untuk anak-anak, penyanyi keliling, hingga membantu orang-orang cacat. Kegiatannya ini membuatnya berpetualangan ke berbagai daerah.

Ia pun mulai melintasi Kanada, Amerika Serikat, bahkan sampai ke Inggris. Melalui caranya bermusik, David mulai menunjukan ketertarikannya terhadap filosofi dan ajaran spiritual negara kawasan Timur. Ia pun mencari bentuk filosofi spiritual yang sesungguhnya.

Menginjak usia 20 tahun, David akhirnya menemukan Alquran dan kemudian memutuskan untuk memeluk agama Islam. Setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, ia pun menggunakan nama Islamnya, yakni Dawud Wharnsby Ali. Agama baginya bukan sekedar institusi untuk manusia. Tetapi sesuatu yang harus diterapkan dalam kehidupan.

‘’Saat mengucapkan kata Islam, saya melihatnya sebagai kata kerja, sebuah kata yang merujuk pada aksi,’’ papar Dawud dalam wawancaranya dengan sebuah majalah pada tahun 2006. Menurut dia, Islam seharusnya menjadi sesuatu yang dilakukan oleh pemeluknya, bukan sesuatu yang hanya dimiliki saja. ‘’Islam harus diimplementasikan dalam kehidupan.’’

Bagi Dawud, Islam sepertinya tidak hanya sebuah agama yang ditempelkan padanya. Dia ingin menerjemahkan bahasa-bahasa keIslaman itu melalui perilaku dan caranya berekspresi. Alquran menjadi inspirasinya dalam bermusik. David banyak menulis lagu-lagu dengan perkusi sebagai instrumennya, menjadi bentuk nasyid.

Dia juga banyak menulis lagu-lagu anak yang terinspirasi dari Alquran. Lagu-lagu anak itu pada awalnya hanya direkamnya dengan sebuah gitar saja. "Itu saya lakukan agar berbagai macam pendengar bisa merasa nyaman dengan materi-materi lagunya,’’ paparnya.

Pada tahun 1995, Dawud berhasil menelurkan sebuah album berjudul Blue Walls and The Big Sky. Pada tahun berikutnya, dia meluncurkan album keduanya berjudul A Whsiper of Peace. Pada album keduanya, ia sudah mulai menunjukan unsur-unsur religi dalam lagunya.

Sebut saja, lagu Al Khaliq, The Prophet, atau Takbir/Days Of Eid. Lagu-lagu bernuansa religi itu terus berlanjut ke album-albumnya selanjutnya, Colours of Islam (1997), Road to Madinah (1998), Sunshine, Dust and The Messenger (2002), The Prophet's Hands (2003), A Different Drum (featuring The Fletcher Valve Drummers) (2004), Vacuous Waxing (featuring Bill Kocher) (2005), The Poets And The Prophet (2006), Out Seeing The Fields (featuring Idris Phillips) (2007).

Album-album itu, bagi Dawud merupakan hasil dari salah satu caranya untuk menginterpretasi Al Quran. ‘’Bagi saya sangat penting untuk bisa jujur pada diri sendiri terhadap pendapat saya tentang musik dan kegunaannya’’ ujar Dawud. Dalam bermusik, dia banyak bersentuhan dengan musisi mualaf lain seperti, Yusuf Islam (Cat Stevens) dan Idris Philip (Philip Bubel).

Meskipun caranya menginterpretasi Alquran melalui musik ditentang oleh beberapa kalangan. Akan tetapi dia merasa bahwa sebagaian besar penganut Islam tidak keberatan dengan caranya itu. ‘’Bagi saya ini penting untuk bisa berbagai tentang nilai-nilai melalui musik dan lagu,’’ kata Dawud.

Para penikmat musiknya di Turki, Malaysia, Pakistan, Australia, Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris sangat menyukai perkembangan karya-karya. Selain sibuk dengan proyek-proyek album pribadinya, pada tahun 1998, Dawud juga bergabung dengan perusahaan multimedia yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat, Sound Vision.com.

Di tempat itu, Dawud bekerja sebagai konsultan pendidikan, pengarah audio, dan menjadi asisten produksi untuk lebih dari 15 dalam dokumentar dan program televisi untuk anak-anak. Saat ini Dawud sedang mengerjakan dua proyek albumnya yang akan muncul di tahun 2011 dan 2012.


Redaktur: Heri Ruslan


Stephen Suleyman Schwartz: Dari Komunis Menjadi Muslim
Rabu, 18 Januari 2012 07:12 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Stephen Suleyman Schwartz, seorang jurnalis kelahiran Columbus, Ohio, Amerika Serikat (AS) memiliki rasa ingin tahu tentang keberadaan Tuhan. Pria yang sempat menganut paham komunis itu sempat mencari kebenaran Sang Khalik dalam setiap agama yang ada di dunia ini.

Awalnya, Schwartz mencari Tuhan dalam agama ibunya, Protestan. Namun, kolumnis dan penulis itu tak berhasil menemukannya. Ia lalu beralih ke Katholik, sebuah agama yang dipandangnya Indah. Lagi-lagi, ia tak berhasil menemukan Tuhan yang dicarinya. Hingga kemudian, mantan aktivis buruh itu berkenalan dengan Yahudi.

Schwartz sempat tertarik dengan ajaran Kabalah pada Yahudi. Tak hanya itu, ia juga meneliti Shinto dan Zen di Jepang dan Korea. Ia pun sempat mengagumi agama Buddha. Akan tetapi, ia merasa bahwa seorang Barat ak bisa benar-benar menjadi seorang pemeluk Buddha.

Semua agama yang dipelajarinya itu tak mampu membuat Schwartz menemukan kedamaian. Ia menilai tidak satu agama pun yang mengajarkannya sesuatu yang sederhana dan mudah dipahami. Hingga akhirnya, ia menemukan kedamaian dan Tuhan dalam Islam. Pada 1997, dia mengukuhkan hati dan dirinya sebagai seorang Muslim di Bosnia.

Schwartz terlahir dari ayah berdarah Yahudi dan ibu penganut Kristen. Sang ibu adalah putri dari seorang pendeta Protestan. dan ia dibaptis ketika bayi digereja Presbyterian. Ia tak berasal dari keluarga yang relijius. Ibunya adalah aktivis Partai Komunis, sedangkan ia menyebut ayahnya sebagai seorang ‘’kawan seperjalanan’’.

Mulanya, Schwartz juga seorang pendukung Komunis dan pembela Uni Soviet. Ayahnya berjualan buku dan ibunya adalah pekerja sosial. Keluarganya hijrah ke San Francisco, ketika dirinya masih kecil. Di kota itu, Schwartz menempuh pendidikan pada Lowell High School.

Sejak remaja, Schwartz sudah gemar menulis. Awalnya, ia amat gandrung membuat puisi. Setelah menamatkan pendidikannya, Schwartz sempat bergabung menjadi aktivis pergerakan buruh. Kemudian, menjadi seorang wartawan, penulis, dan kolumnis.

Selama delapan tahun, ia menjadi wartawan pada sejumlah surat kabar San Fransisco Chronicle. Schwartz juga menulis beberapa artikel dan kolom di koran-koran terkemuka, seperti; The New York Times, The Wall Street Journal, The Weekly Standard, dan The New York Post.

Nenek menjadi orang yang memiliki pengaruh penting dalam perkembangan hidupnya. Dari merekalah, Schwartz mempelajari agama. Pada usia delapan tahun, ia mulai diajarkan untuk mempercayai adanya Tuhan. Dan sejak itu pula ia memberontak melawan orangtuanya yang mengikuti garis kiri dan menjadi orang yang religius.

Schwartz kerap berdiskusi dengan nenek dan ibunya mengenai agama, namun tidak membiarkan ayahnya mengetahui kegiatan ini. “Apabila saya memberitahunya, reaksinya akan sangat ekstrem,” ujarnya dalam pesan yang dikirimkan kepada seorang Direktur Institut Yahudi Amerika, Kerry Olitzky.

Ketika remaja, ia melihat adanya kesamaan secara sosiologi antara agama radikal dan komunisme. Ia sempat berafiliasi dengan Komunisme Lenin hingga 1984, ketika ia tidak bisa terlibat lagi di dalamnya. Ia menjadi seorang kripto-theis di antara para atheis. Komunitas iman pertama yang didatangi adalah Reformasi Protestan.

Pada usianya yang ke-17, ia juga terlibat dengan spiritualitas Katolik. Ia mendatangi misa dan bersiap untuk pindah keyakinan ke Katolik pada 1966. Namun reaksi orang-orang di sekitarnya tidak ramah dan bahkan memusuhinya. “Ini kemunduran dalam perjalanan religi saya,” tuturnya.

Pada saat yang sama, ia berkenalan dengan seorang penyair, Kenneth Rexoth yang memiliki pengaruh terhadap Budhaisme di Amerika. Stephen bahkan berusaha untuk meneliti Shinto dan Zen di Jepang dan Korea. Ia menemukan banyak hal yang mengagumkan dan inspiratif dalam Buddha.

Katolik adalah hal pertama yang membuatnya melakukan kontak dengan Sufisme. Hal ini ia dapat melalui membaca tulisan-tulisan filsuf dan pendeta Catalan, Ramon Llull, yang secara eksplisit sebagai model dalam gaya eksposisi religiusnya.

Katolik mempengaruhinya cukup lama dibandingkan tradisi lain. Ia meneliti sinkretisme adat Katolik pada orang Brazil dan Kuba. Ia banyak bekerja bersama orang-orang Katolik. Penulis yang juga jurnalis itu juga mendatangi misa, namun tidak mengambil Komuni. Selain misa Katolik, ia juga menghadiri pelayanan Yahudi sebagai seorang peneliti yang penasaran.

Ketertarikan serius Schwartz terhadap Yahudi dimulai pada 1979 di Paris, ketika ia menemukan sebuah buku yang berjudul The Zohar in Moslem and Christian Spain. Karena itulah, ia berpaling ke Kabalah dan Yahudi Sephardis dengan ketertarikan yang besar, namun menahan diri untuk bergabung.

Saat berada di Spanyol itulah, ia mengenal Islam. Schwartz mengamati di balik kejayaan Katolik Spanyol terdapat pengaruh kuat sejarah Islam, ketika berkuasa di Spanyol. Ia merasa takjub dan terinspirasi terhadap agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW tersebut.

“Sebagai penulis saya mengamati ini (Islam) selama bertahun-tahun,” tuturnya. Sejak itulah, ia mulai mempelajari Islam selama 20 tahun. Ia tertarik dengan tasawuf yang ada dalam ajaran Islam.

Schwartz memandang Islam mampu menawarkan jalan untuk mendapatkan kasih sayang Allah. Ia terpesona dengan agama Islam. Hingga akhirnya, ia membulatkan tekad untuk menjadi seorang Muslim. Ia pun bersyahadat di Bosnia pada 1997.

Schwartz memandang Islam sebagai sebuah agama yang sederhana. Saat mempelajari Protestan, ia tidak menemukan kedalaman spiritual. Ia menyukai Katolik, namun tidak dapat menerima ketuhanan Yesus. Ia juga tidak dapat menerima Buddha, karena Allah tidak hadir di sana.

Ia percaya bahwa agama diutus kepada manusia untuk membuat hidup lebih baik dan ringan. Ia tidak dapat mempercayai dosa yang diturunkan ataupun kejatuhan manusia. Schwartz tertarik terhadap Islam karena penolakan keras mereka terhadap pengkarakteristikan Tuhan seperti manusia (antropomorfisme).

Dalam sufisme Islam, ia mengaku menemukan kebijaksanaan terhadap agama populer dari Bosnia ke Khazakstan, Maroko ke Indonesia. Banyak hal-hal positif yang ia temukan di agama Samawi. Nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam. “Islam datang untuk menyempurnakan agama terdahulu,” kata Schwartz.

Setelah memeluk Islam, hal yang sangat berkesan baginya adalah kedamaian hati disertai kehadiran Allah pada setiap hal. Schwartz sangat yakin nilai-nilai Islam itu mampu menyelesaikan permasalahan di Amerika, terutama krisis moral.

Berhenti menjadi seorang jurnalis, ia dipercaya menjadi direktur Eksekutif Pusat Pluralisme Islam di Washington. Ia juga banyak menulis buku, salah satunya yang terjual habis adalah The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism.

Sejak menjadi seorang mualaf, ia sangat berhati-hati mengungkapkan perubahan itu kepada keluarganya, apalagi ayahnya. Ia tidak ingin sembarangan mengabarkan karena takut menimbulkan konflik dan kontroversi. Ia berusaha untuk mengatakan keislamannya bukan karena pengaruh dari Balkan.
“Saya menyukai Islam karena pesan indah yang dibawa Rasulullah sebagai utusan Allah kepada umat-Nya.”
Redaktur: Heri Ruslan

STMIK AMIKOM

Viacheslav Polosin, Pastor yang Memeluk Islam 
Rabu, 18 Januari 2012 15:17 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Viacheslav Polosin adalah seorang pastor yang masuk dalam jajaran pejabat tinggi di Gereja Ortodoks Rusia.

Pria kelahiran Moskow, 26 Juni 1956 ini, mulai bekerja untuk Gereja Ortodoks pada 1980 sebagai seorang “Reader” (bertanggungjawab membacakan kutipan-kutipan kitab suci dalam peribadatan).

Lulus dari Universitas Moskow, Fakultas Filsafat, Jurusan Sosiologi pada 1978, ia kemudian belajar teologi di sebuah seminari di Moskow. Lulus dari sana pada 1983, Polosin ditunjuk sebagai diaken (mengerjakan tugas-tugas pelayananan gereja), dan kemudian diangkat menjadi pastor.

Polosin bertugas menjadi pastor di sejumlah paroki di kawasan Asia Tengah sampai tahun 1985. Ia pernah menjadi kepala gereja di Kota Dushanbe, tapi kemudian dideportasi dari wilayah itu oleh otoritas pemerintahan Soviet karena dinilai membangkang pemerintahan komunis Soviet. Ia lalu bekerja sebagai penerjemah paruh waktu di Departemen Penerbitan Kantor Keuskupan di Moskow.

Juni 1988, ketika penindasan terhadap agama oleh pemerintah Soviet mulai reda, Polosin kembali menjadi pendeta di sebuah gereja baru yang nyaris roboh di kota Obninsk, wilayah Kaluzhsky. Ia menjalankan tugasnya sebagai pendeta hingga dipromosikan menjadi imam agung pada 1990.

Perjalanan ‘karir’ Polosin sebagai pemuka agama tak berhenti di situ. Pada bulan Maret 1990, ia terpilih sebagai deputi dan anggota Mahkamah Soviet Federasi Rusia, mewakili wilayah Kaluzhsky. Ia menjadi Ketua Bidang Kebebasan Beragama hingga tahun 1993, dan selama itu berperan dalam pembuatan undang-undang tentang Kebebasan Beragama.

Sejak 1990, Polosin ikut serta dalam pendirian gerakan Kristen Demokratik di Rusia dengan menjadi pengurus di gerakan itu hingga 1993. Pada saat yang sama, ia menyelesaikan studinya di Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri Rusia dan mendapat gelar MA untuk bidang ilmu politik.

Aktif berpolitik, Polosin meninggalkan kegiatan gereja sejak 1991 lantaran sulit membagi waktu untuk aktivitas di bidang politik dan agama.

Setelah Mahkamah Soviet dibubarkan pada 1993, Polosin menolak tawaran untuk kembali berkegiatan di gereja sebagai pendeta.

Ia memilih menjadi konsultan paruh waktu bagi Departemen Hubungan Internal Gereja dan menjadi penasehat bagi pemerintahan negara bagian Duma yang tergabung dalam Komite Asosiasi Publik dan Organisasi Keagamaan.

Setelah berhasil mempertahankan tesis “Dialectics of a Myth and Political Myth Creation” ia meraih gelar setara PhD pada 1999. Setelah itu, ia banyak menulis artikel bertema keagamaan dan isu-isu agama-politik.

Salah satu buku karyanya adalah “Myth Religion State” yang mengupas tentang pengaruh mitos penciptaan pada perkembangan politik di masyarakat, serta keuntungan-keuntungan ideologi monoteistik untuk membangun sebuah negara.

Masih di tahun 1999, Polosin membuat pengumuman yang mengejutkan. Ia dan istrinya kembali ke monoteisme dan memeluk Islam. Keputusan besar itu ia tandai dengan menggunakan nama islami “Ali” di depan namanya.

Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia, Refakh. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Muslim Newspaper yang diterbitkan pada 1999. Pada 2003, Polosin terpilih sebagai Presiden Persatuan Wartawan Muslim di Rusia, serta menjadi penasehat di Dewan Mufti Rusia.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Devi Anggraini Oktavika



Muhammad Kasim Wolf : Alquran Menjawab Semua Pertanyaanku
Selasa, 17 Januari 2012 09:30 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Saat berusia tujuh tahun, Muhammad Kasim Wolf mengalami sebuah peristiwa yang tak terlupakan. Ia menyaksikan sang nenek yang dicintainya meninggal dunia di sampingnya. Peristiwa itu telah menggoreskan sebuah kesan dan pertanyaan dalam hatinya.

‘’Apa yang terjadi setelah kematian,’’ hati kecilnya bertanya. Pertanyaan hidup setelah mati itu telah membuatnya tertarik pada spiritualitas. Ia pun mencari jawabannya dengan mempelajari ajaran agama-agama yang ada di dunia ini. Namun, tak ada agama yang bisa memberi jawaban atas pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya.

‘’Hingga akhirnya, saya bertemu dengan Islam. Alquran dapat menjawab semua pertanyaan saya dan memberi jalan hidup sempurna, membimbing pada kebahagiaan dunia dan akhirat nanti,’’ ungkapnya penuh syukur. Pencarian kebenaran yang dilakukannya tidaklah mudah.

Jauh sebelum memeluk Islam, Kasim memang mengaku sudah mengenal agama yang disebarkan Nabi Muhammad SAW itu. ‘’Pertemuan pertama saya dengan Islam pada 1981 ketika berusia 18 tahun dan bepergian ke Eropa selama tiga bulan dengan uang setara Rp 200 ribu,’’ tuturnya mengenang.

Dalam perjalanan itu, Kasim juga sempat mengunjungi Maroko selama dua pekan. Di kota Tangier, tempat kelahiran Ibnu Batuta, penjelajah Muslim legendaris itulah Kasim pertama kali mendengar kumandang azan untuk pertama kalinya.

‘’Saat itu, saya sangat menyukai kultur Islam yang saya temui di sana,’’ ujarnya. Dua pekan hidup bersama sebuah keluarga miskin di Maroko, telah banyak mengubah hidupnya. Satu tahun kemudian, tepatnya pada 1982, di usianya yang ke-19, Kasim memutuskan untuk disunat dengan alasan kesehatan.

Ketika itu, ia menetap di Schweinfurt dekat dengan tempat kelahiran Friedrich Ruckert yang menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jerman dari 1820-1826. Perkenalannya dengan Islam yang menggoreskan kesan dalam hatinya akhirnya membuahkan sebuah berkah. Kasim akhirnya benar-benar bisa memeluk agama yang sempurna.

Ia mengucapkan dua kalimah syahadat pada 1996 di Indonesia. Allah SWT membuka jalan menuju Islam kepada Kasim lewat belahan jiwanya yang kemudian dinikahinya, Fariah Abu Yusuf. Saat itu, dia dihadapkan pada dua pilihan: pulang terlebih dahulu ke Jerman atau tetap tinggal di Indonesia dan memulai hidup baru sebagai seoarang mualaf dan suami dari istrinya.

Kasim pun menemui seorang ustaz. Ia disarankan agar dirinya segera masuk Islam dan menikahi perempuan yang dicintainya, sehingga tak berbuat zina. ‘’Beliau memberi saya air bunga dengan doa untuk saya minum dan mandi pada waktu shalat yang lima waktu,’’ ungkapnya.

Setelah mengucap dua kalimah syahadat, Kasim mempersunting gadis pujaannya. Ada sebuah pengalaman menarik yang dialaminya ketika awal-awal memeluk Islam. Di antara waktu shalat, Kasim tertidur. Ketika terbangun saya merasa seperti seorang bayi baru lahir. ‘’Istri saya bilang seluruh tubuh saya wangi bunga.’’

Pengusaha busana Muslim itu mengaku banyak mengenal Islam dari istri, teman-teman dan berbagai pengajian. Keputusannya memeluk Islam sempat membuat keluarganya di Jerman marah. Ia tak mendapat restu dari keluarganya. ''Mereka marah dan antipati,’’ ucapnya. Namun, tantangan itu tak menyurutkan tekadnya untuk menjadi seorang Muslim yang baik.

Kasim sangat bersyukur, karena begitu banyak orang yang mendorong dan mendukungnya menjadi seorang Muslim. ‘’Saya ingin berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberi kehidupan, juga kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Alquran dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam diri saya.’’

Untuk memperdalam keislaman, kata Kasim, dirinya banyak berguru kepada Ustaz Bachtiar Nasir, Ustaz Hasan Sadzali, Ary Ginanjar dan semua trainer dari ESQ, serta Agus dan istrinya. Ia mengaku sangat bahagia telah menjadi seorang Muslim.

Meski pada masa awal-awal keislamannya, Kasim mengaku sering mendapat godaan dari setan. ‘’Awalnya sulit sekali mendisiplinkan diri untuk menjalankan shalat lima waktu. Godaan setan terasa begitu hebat waktu itu, namun saya berhasil menyempurnakan ibadah puasa selama satu bulan pertama kali tahun 1996,’’ tuturnya sumringah.

Lalu apa pandangannya tentang Islam? Menurut dia, Islam moderat adalah satu-satunya jalan untuk menyiapkan keluarga menuju Hari Akhir. Kasim mengungkapkan, ketika seorang hamba hendak bertemu Allah SWT, maka harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah dilakukan.

‘’Ini adalah satu-satunya cara untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran untuk anak-anak kita dan memberi mereka pemahaman yang benar, mengapa kita lahir dan akan ke mana kita?'' ungkapnya. Ia menegaskan bahwa Islam menanamkan saling hormat, saling pengertian, dan iman dalam keluarga.
Cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, papar dia, menjadi motif untuk semua perbuatan kita dan bukan perbuatan untuk perolehan personal, karena Allah memberikan apapun yang dibutuhkan hamba-Nya. Menurut dia, setiap orang dibedakan oleh motif k yang keluar dari lubuk hatinya masing-masing.

Kasim juga bersyukur sudah berkunjung ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Ketika pertama kali melihat Ka’bah, ia merasakan jiwa seperi pulang ke rumah. Di hadapan rumah Allah SWT itu, ia berlutut dan menangis. Kasim merasakan sebuah keistimewaan saat berada di Makkah dan Madinah.

‘’Keduanya adalah tempat terdekat di bumi ini untuk bisa sampai ke Allah SWT dan itu adalah satu-satunya tempat, yang membuat kita bisa meninggalkan semua gagguan duniawi dan fokus pada perjalanan spiritual jiwa,’’ paparnya.

Kasim memiliki konsep pendidikan yang sangat menarik yang tanamkan kepada keluarganya. Menurut dia, Allah SWT menciptakan manusia, Allah SWT mencintai manusia sepanjang masa tanpa syarat. Ia mengatakan, setiap orang kembali kepada anugrah Tuhan dengan cinta yakni mengikuti aturan-Nya, tuntunan Nabi Muhammad dan petunjuk Alquran.

‘’Karena saya sebagai seorang imam dalam keluarga, saya hanya bisa membimbing keluarga dengan memberi mereka contoh yang baik sebagai seorang Muslim dan berusaha meningkatkan diri setiap hari. Selalu mengingat Allah SWT, beribadah sebaik-baiknya dan mensyukuri nikmat yang diberikan,'' jelasnya.

Salah satu konsep yang penting yang ia tanamkan adalah budaya mau mendengar. ''Satu konsep penting lainnya adalah mendengarkan. Mendengarkan istri Anda, mendengarkan anak-anak Anda, teman-teman Anda, orang-orang yang Anda temui dan mendengarkan hati Anda.''

Dalam pandangan Kasim, mendengarkan adalah melatih kesabaran. Melalu mendengar, setiap orang dapat menahan diri dari sikap kebiasaan bereaksi. ''Dengan mendengarkan kita bisa menyerap pengetahuan. Jika mendengarkan hati, membantu kita membuat pilihan yang tepat.’’

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Damanhuri Zuhri

Steven Eric Krauss; Terpikat Kesempurnaan Islam 
Senin, 16 Januari 2012 05:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Sekitar 13 tahun lalu, Steven Eric Krauss hanyalah seorang pemuda tanggung kebanyakan. Pada 1998, anak muda yang sedang menjalani masa-masa kuliah itu dilanda kegamangan. Dalam hatinya tumbuh sebuah keraguan akan kebenaran agama yang tengah dipeluknya sejak lahir, Kristen Protestan.

Kedua orangtua Krauss adalah pemeluk Kristen Protestan. Meski terlahir dari keluarga Protestan, namun Krauss mengaku jarang beribadah seperti yang dilakukan pemeluk agama itu. Ia menjauh dari kegiatan ibadah, karena baginya agama sebagai sebuah institusi, tidak memberikan apapun dalam kehidupannya.

‘’Sulit untuk mencari apapun dari agama itu yang bisa saya gunakan untuk kehidupan sehari-hari," tulisnya dalam artikel berjudul My journey to Islam - How Malay martial arts led a theologically dissatisfied American Protestant to Islam. Sejak masa remaja, Krauss memang sudah merasa tidak puas dengan ajaran Kristen.

Ia mengatakan, agama kedua orangtuanya itu lemah dan kurang mampu memberi penjelasan tentang ketuhanan dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. "Menurut saya, filosofi Kristen itu sangat bergantung pada sebuah hubungan yang aneh dengan Jesus, yang merupakan Tuhan, tapi juga manusia," ujarnya.

Krauss mengaku sulit menerima cara pandang seorang Kristen yang tidak bisa berdoa langsung pada Tuhan, tapi justru atas nama Jesus. ‘’Kenapa Tuhan harus mengambil bentuk sebagai manusia,’’ ujarnya. Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian mendorongnya untuk mencari jawaban yang lebih baik tentang Tuhan. Dia lebih mencari nilai spiritual dari sebuah agama.

Sampailah kemudian ketika masih duduk di bangku universitas, dia berbagi kamar dengan seorang Yahudi yang sedang mempelajari pencak silat. Pencak silat yang dipelajari oleh temannya itu adalah jenis bela diri yang ada di Malaysia. Ketika itu pencak silat tersebut sangat dekat dengan ajaran Islam.

Setiap kali, pemuda Yahudi itu pulang, dia selalu menceritakan kepada Krauss tentang keunikan silat dan kekayaan dimensi spiritual yang ada. Dari cerita-cerita itu, akhirnya Steven merasa tertarik. Suatu Sabtu pagi, dia memilih untuk ikut dengan teman satu kamarnya itu dalam sebuah sesi latihan pencak silat.

Meskipun pada awalnya dia belum menyadari bahwa hatinya telah tergetar dengan Islam, Krauss mengakui latihan silat pertamanya pada 28 Februari 1998 itulah yang mengantarkannya untuk menjadi mualaf. Ketika itu dia bertemu dengan Cikgu (guru dalam bahasa Malaysia) Sulaiman.

Sang guru silat itulah yang mengenalkannya kepada Islam. Padahal sebelumnya, agama tersebut tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran Krauss. Merasa semakin tertarik dengan silat, ia pun meluangkan lebih banyak waktu untuk berlatih dan bertemu dengan gurunya.

Ia dan teman sekamarnya itu juga datang ke rumah guru Sulaiman untuk belajar lebih jauh. Pernah, pada musim panas di tahun 1998, mereka menghabiskan waktu bersama keluarga Sulaiman. Setiap hari, ia bersentuhan dengan sebuah keluarga Muslim. Ia melihat cara mereka beribadah, dan gaya hidup seorang Muslim sebenarnya.

Hasilnya, pengetahuannya tentang silat dan Islam pun semakin banyak. Islam menurutnya sebuah agama yang menjadi bagian dari hidup pemeluknya, hal ini berbeda dengan Kristen yang memisahkan kehidupan sehari-hari dengan agama.
Awalnya, dia merasa asing dengan agama Islam. Apalagi ketika itu dia masih menganut paham liberal dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang bersifat dogmatis. Namun, lama-kelamaan, hal yang dianggap sebagai dogma dalam ajaran Islam itu ternyata merupakan sebuah kepasrahan kepada Allah. Sebuah cara hidup yang dijalankan oleh para pemeluknya.

Butuh waktu satu setengah tahun, atau tepatnya pada 30 Juli 1999, Steven bersyahadat. Dia kemudian mengambil nama Islam, Abdul-Lateef Abdullah. Dia sadar bahwa budaya Amerika kemudian datang menjadi tantangan. Kebudayaan negara Adi Daya itu sangat mengakomodasi nafsu-nafus duniawiah.

Di Amerika, kebahagiaan itu tidak jauh dari konsumsi dan apa yang sudah dipunyai secara materi. Sistem pasar adalah tolak ukur masyarakat Amerika. Akan tetapi Islam justru memfokuskan pada cara hidup yang sehat dan positif. Islam sebenarnya bisa menjadi jawaban bagi permasalahan sosial. Hal inilah yang membedakan Islam dengan agama yang lain.

‘’Islam juga memberikan pengetahuan, penjelasan, dan tuntunan dari setiap aspek kehidupan (fisik, spiritual, mental, finansial, dan sebagainya). Hanya Islam yang memberikan tujuan hidup yang jelas,’’ papar Abdul-Lateef Abdullah.

Sejak menjadi seorang Muslim, ia akhirnya sadar bahwa Islam benar-benar bisa menjadi pegangan dalam kehidupan. Apapun yang dikerjakan pemeluknya adalah merupakan cara untuk selalu mengingat Allah. Cara hidup Islam memungkinkan pemeluknya untuk tetap melakukan itu setiap saat, mulai dari bangun tidur hingga kembali lagi ke peraduan.

Dengan mengingat Allah, maka umat Muslim mampu menghindarkan diri dari segala macam tindakan dan perilaku yang kurang sehat dan cenderung tidak berguna. Mereka sangat fokus pada energi yang diberikan oleh Allah. ‘’Dengan mengingat Allah kita menjadi semakin kuat dan sehat di setiap aspek kehidupan kita dan kita akan terhindar dari pikiran dan perilaku yang tidak baik,’’ ucap Abdul Lateef.

Sama halnya dengan pengalaman mualaf yang lain, ia mengaku harus menyesuaikan hidupnya dengan cara hidup Islam. Ia bersyukur, diberi kemudahan untuk mengatasi itu semua itu. Sehingga, Abdul Lateef tetap bisa hidup di antara masyarakat Amerika yang lain, namun tetap memegang teguh ajaran Islam.

Begitu pula dengan keluarganya. Ketika pertama kali diberitahu tentang keputusannya masuk Islam, keluarga dan teman-teman dekatnya mulai menanyakan banyak hal dan sangat khawatir dengan kehidupannya. Akan tetapi, mereka justru tidak memandang keputusan itu sebagai sesuatu yang negatif. Dengan penjelasan yang panjang dan mendalam, akhirnya mereka bisa mengerti.

Ia benar-benar terpikat dengan kebenaran dan kesempurnaan agama Islam
Hikmah dari Sang Guru

Steven Eric Krauss terbilang beruntung. Untuk menghadapi keluarga dan pertanyaan banyak orang tentang Islam, ia tak pernah merasa bingung. Krauss memiliki seorang guru agama yang setiap saat selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang-orang di sekelilingnya tentang seluk-beluk Islam.
Selain merasa siap dengan setiap jawaban, Krauss menjadi semakin mantap dengan tata cara ibadah wajib yang harus dia lakukan setiap hari. Baginya, guru adalah sosok yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang luas. Seseorang mualaf yang baru belajar tentang Islam, kehadiaran guru itu sangat penting.

Di Amerika, kebanyakan para mualaf lebih senang belajar tentang Islam secara mandiri dengan menonton video atau membaca buku. Mereka merasa bisa serta-merta mengaplikasikan Islam dengan struktur kebudayaan barat. Sebenarnya, jika tanpa pendampingan yang benar, maka dikhawatirkan akan terjerumus pada pemahaman yang kurang tepat.

Atau justru terjebak dengan pemahaman yang berpaku pada ego pribadi, sehingga berujung pada kebingungan. Islam, bagi Krauss, bukan sebuah agama yang bisa diinterpretasi sendirian. Apalagi bagi seseorang yang baru saja memeluk Islam. Perlu tuntunan dari seorang guru yang memang benar-benar mengerti tentang Islam.

Sejak berabad-abad yang lalu, Islam sudah selayaknya diajarkan melalui seorang ulama atau guru yang memang memiliki pengetahuan yang luas. Lewat cara inilah ajaran Islam bisa disampaikan secara benar. Menurutnya, umat Islam tidak bisa mengerjakan ibadah tanpa ilmu dan sebaliknya.

‘’Guru juga bisa menjadi contoh kepada para mualaf bagaimana sebanarnya akhlak yang baik itu, melalui cara hidup mereka,’’ paparnya. Menurutnya, sangat baik bagi seseorang yang baru berkenalan dengan Islam untuk melihat bagaimana guru mereka mengimplementasikan Islam dalam kehidupan.

Mulai dari cara shalat dan cara beribadah yang lain. Termasuk perilakunya. Namun, menurut Krauss, saat ini juga banyak orang yang mengaku sebagai imam atau syekh, akan tetapi mereka hanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Islam.

‘’Jadi jangan mudah terjebak dengan embel-embel imam atau syikh dalam pencarian seorang guru,’’ paparnya mengingatkan.
Menurut dia, mencari guru yang tepat adalah suatu hal yang sangat penting. Implementasi dan pemahaman seorang mualaf, kata dia, tergantung gurunya. Islam adalah cara hidup yang harus dilakukan setiap saat dalam kehidupan

Redaktur: Heri Ruslan

Mark Shaffer: Menemukan Ketentraman dalam Shalat
Rabu, 11 Januari 2012 11:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Mark Shaffer dikenal sebagai seorang pengacara terkemuka di negeri Paman Sam. Pemilik firma hukum, The Shaffer Law Firm itu pernah menangani sejumlah perkara hukum, khususnya masalah perdata, yang melibatkan beberapa nama pesohor di Amerika Serikat. Salah satu kliennya adalah penyanyi pop nomor satu dunia Michael Jackson alias Jacko.

Perkara hukum yang menimpa Jacko sepekan sebelum ‘’King of Pop’’ itu meninggal merupakan kasus besar terakhir yang ditangani Shaffer. Empat bulan berselang setelah kematian Jacko, tersiar kabar bahwa Shaffer berpindah keyakinan. Ia memeluk Islam.

Sebagaimana dilansir dari laman waryatv.com, Shaffer mendeklarasikan keislamannya di Arab Saudi pada 17 Oktober 2009. Saat itu, pengacara kawakan asal Los Angeles itu tengah berwisata ke Arab Saudi. Ia mengunjungi beberapa kota terkenal di negara Timur Tengah itu, seperti Riyadh, Abha dan Jeddah dalam kunjungan selama 10 hari.

Seorang pemandu wisata yang menemaninya selama 10 hari, Dhawi Ben Nashir, menceritakan: ''Sejak menginjakkan kakinya pertama kali di Saudi, Shaffer banyak bertanya tentang Islam dan shalat. Sesampainya di Saudi, Shaffer menginap di kota Riyadh selama dua hari. Selama di sana, ia menunjukkan ketertarikannya terhadap Islam.''

Dhawi lalu mengajak Shaffer ke kota Najran, terus ke Abha dan Al-Ula. ''Di sana makin terlihat sekali ketertarikannya pada Islam, khususnya saat kami keluar berwisata ke padang pasir,’’ ungkap Dhawi.

Menurut Dhawi, Shaffer kaget saat melihat tiga pemuda Saudi yang mendampinginya di Al-Ula melaksanakan shalat di atas bentangan padang pasir yang amat luas. Pemandangan itu sungguh sangat menakjubkan bagi Shaffer.

Setelah menghabiskan waktu selama dua hari di Al-Ula, mereka pun melanjutkan perjalanan ke Al-Juf. Sesampai di Al-Juf, Shaffer minta dicarikan buku-buku tentang Islam. ‘’Lalu saya berikan beberapa buku tentang Islam. Semua buku itu dibaca habis oleh Shaffer. Esok paginya, dia minta saya mengajarkannya shalat. Sayapun mengajarkannya shalat dan bagaimana cara berwudhu. Lalu dia ikut shalat di samping saya,’’ papar Dhawi.

Seusai shalat, Shaffer bercerita. Dia merasa jiwanya terasa tentram setelah mencoba menunaikan shalat. Keesokan sorenya, rombongan Shaffer meninggalkan Al-Ula menuju kota Jeddah. Selama di perjalanan, Shaffer terlihat serius sekali membaca buku-buku tentang Islam.

Keesokan paginya -- bertepatan dengan hari Jumat -- rombongan tersebut mengunjungi kota tua Jeddah. ''Sebelum waktu shalat Jumat masuk, kami kembali ke hotel dan saya minta izin padanya untuk shalat Jumat. Saat itu Shaffer berkata kepada saya kalau dia ingin ikut shalat Jumat agar bisa menyaksikan seperti apa shalat Jumat itu.’’

Dhawi pun mempersilakan Shaffer untuk ikut shalat Jumat. Mereka pun kemudian pergi ke sebuah masjid yang berada tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap di Jeddah. ‘’Karena agak terlambat, saya dan sebagian jamaah shalat di luar masjid karena jamaahnya yang membludak,’’ ujarnya.

Sepanjang berlangsungnya shalat, Shaffer tampak mengamati setiap jamaah yang hadir. Terlebih, setelah selesai shalat Jumat, para jamaah saling bersalam-salaman dengan wajah yang cerah dan gembira. Pemandangan tersebut semakin membuat Shaffer kagum.

Setelah kembali ke hotel, tiba-tiba Shaffer menyampaikan sebuah keinginan yang tak terduga kepada Dhawi. ‘’Saya ingin masuk Islam,’’ ungkap Shaffer. Dhawi pun bergembira mendengar ucapan itu. Ia lalu mempersilakan Shaffer untuk membersihkan diri. ‘’Silahkan Anda mandi terlebih dahulu.’’

Setelah mandi, Dhawi kemudian membimbing Shaffer mengucapkan dua kalimah syahadat. Kemudian, sang pengacara kondang itu menunaikan shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu, Shaffer mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi dan shalat di Masjidil Haram, Makkah, sebelum meninggalkan Arab Saudi.

Untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut, Shaffer pergi ke kantor Dakwah dan Irsyad di kawasan Al-Hamro’ Jeddah untuk mengambil bukti formal keislamannya agar dapat memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram. Lalu ia pun diberi sertifikat sementara masuk Islam.

Shaffer diantar ke Kota Suci Makkah oleh seorang guru agama yang baru dikenalnya di Jeddah, Ustaz Muhammad Turkistani. Lantaran, rombongannya harus kembali ke Amerika pada sore hari, sang advokat pun menyempatkan diri melihat Ka’bah dan shalat di Masjidil Haram pada pagi harinya.

Setibanya di Makkah, Shaffer langsung menuju ke Masjidil Haram. Di sana ia menyempatkan diri untuk menunaikan shalat. Terkait kunjungan Shaffer ke Masjidil Haram, Ustaz Turkistani menceritakan: ''Setelah Shaffer mendapatkan sertifikat Islam, kami pun langsung berangkat menuju Masjidil Haram yang mulia.’’

Saat menyaksikan Masjidil Haram, menurut Ustaz Turkistani, Shaffer tampak bahagia. ‘’Wajahnya sangat cerah dan memancarkan kegembiraan yang luar biasa. Ketika kami masuk ke dalam Masjidil Haram dan menyaksikan langsung Ka’bah, kegembiraannya semakin bertambah. Demi Allah saya tidak bisa mengungkapkannya dengan lisan akan pemandangan tersebut,’’ paparnya berkisah.

Setelah tawaf mengelilingi Ka’bah yang mulia, Shaffer shalat sunah dan kemudian keluar dari Masjidil Haram. Ustaz Turkistani mengungkapkan, Shaffer terkesan sangat berat untuk berpisah dengan Masjidil Haram. Suatu saat, ia berharap akan kembali shalat di Masjidil Haram.
Kabar seorang pengacara kondang asal Amerika Serikat (AS), Mark Shaffer memeluk Islam langsung tersebar. Media di Arab Saudi pun segera mewawancarainya. Shaffer sempat mengungkapkan kebahagiaannya kepada surat kabar Al-Riyadh.

''Saya tidak sanggup mengungkapkan perasaan saya saat ini. Akan tetapi, sekarang saya seperti baru dilahirkan kembali dan kehidupan saya baru dimulai…’’ ungkap Shaffer dengan penuh haru.

Ia lalu mengungkapkan perasaannya, ‘’Saya sangat bahagia. Kebahagiaan yang saya rasakan tidak sanggup saya ungkapkan pada Anda saat saya berkunjung ke Masjid Haram dan Ka’bah yang mulia.''

Menjawab pertanyaan tentang langkah ke depan yang akan dilakukannya setelah ia masuk Islam, Shaffer mengatakan, dirinya akan belajar lebih banyak tentang Islam dan akan mendalami agama Islam. Ia pun bertekad untuk kembali lagi ke Arab Saudi guna menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci.

Sebelum memeluk agama yang paling benar, yakni Islam, Shaffer mengaku sudah memiliki informasi tentang Islam, tapi sangat sedikit. ‘’Ketika saya berkunjung ke Saudi dan menyaksikan langsung kaum Muslimin di sini dan saya saksikan mereka menunaikan shalat, saya merasakan sebuah dorongan yang kuat untuk mengenal lebih banyak lagi tentang Islam,’’ papar advokat masyhur itu.

Setelah membaca informasi yang benar tentang Islam, Shaffer pun tak ragu lagi untuk meninggalkan keyakinan yang telah lama dianutnya. ‘’Saya pun yakin bahwa Islam adalah agama yang hak (benar),’’ ujar dengan penuh keyakinan.

Pada Ahad pagi, bertepatanl 18 Oktober 2009, Shaffer meninggalkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Amerika. Namun sebelum meninggalkan Jeddah, saat mengisi formulir keimigrasian, Shaffer dengan bangga mencantumkan agamanya adalah Islam.

Redaktur: Heri Ruslan

STMIK AMIKOM



Mustafa Darmawan Sunarja: Nikmatnya Mendengar Azan
Kamis, 12 Januari 2012 08:38 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Lantunan azan Maghrib yang terdengar setiap sore hari di televisi, ternyata memberi pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan Mustafa Darmawan Sunarja. Direktur Mihrab Qolbi Travel ini mengaku merasakan getaran yang sangat indah setiap kali mendengar azan dari televisi, meski ia tidak memahami maknanya.

‘’Sejak kecil, setiap kali mendengar suara azan, khususnya Maghrib dari TVRI, saya selalu terdiam. Saya menyimak azan sampai selesai. Dan itu berlangsung sampai saat ini,'' ungkap Darmawan kepada Republika di Jakarta Kamis (16//6).

Pergaulannya dengan suasana Islam, semakin bertambah ketika menempuh studi di Universitas Padjadjaran (Unpad). Saat mahasiswa, ia mengaku banyak bergaul dengan teman-teman yang beragama Islam. Dari pergaulan itulah, ia sering terlibat dalam kegiatan buka puasa bersama teman-teman Muslim setiap bulan Ramadhan.

‘’Saya pun ikut puasa seperti mereka. Saya rasakan nikmatnya puasa sampai saat ini. Itu terjadi sejak tahun 1985,'' ungkap Ketua Dewan Pengawas dan Pendiri Yayasan Syiar Insan Madani ini penuh syukur. Keinginannya untuk menjadi seorang Muslim semakin bertambah ketika dia mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Cibatu, Garut , Jawa Barat pada 1989.

Ketika itu, ia tinggal di sebuah pesantren. Suasana islami membuatnya ikut terpengaruh. Darmawan mengaku mulai mencoba-coba berwudhu dan melaksanakan shalat. ‘’Walaupun, saat itu saya tidak tahu bagaimana caranya, dan hanya ikut-ikutan saja,’’ ucapnya mengenang.

Minatnya terhadap Islam semakin menguat, karena setiap hari, suami dari Nany Diana ini, selalu diajak berbincang oleh Ajengan Mumun, pimpinan pesantren itu. Dengan penuh keramahan, Ajengan Mumun menjelaskan tentang ajaran Islam. Sepulang dari KKN, Darmawan mengaku memiliki firasat: cepat atau lambat pasti akan menjadi seorang pemeluk Islam.

Atas inisiatif sendiri, Darmawan pun berkhitan. ‘’Keinginan untuk lebih mengenal dan menjadi pemeluk Islam, terus muncul dan menguat dalam hati. Mulai saat itu pun saya jarang melaksanakan ibadah agama saya sebelumnya. Saya jarang ke gereja, saya merasakan ada kekeringan dalam kehidupan iman saya karena dimanjakan kehidupan.''

Sebelum menjadi seorang Muslim, Darmawan sering memfasilitasi acara-acara keagamaan, terutama Hari Besar Islam dan bulan Ramadhan, sebagai sarana pembinaan terhadap karyawan di tempatnya bekerja. Tahun 1998 ia mengundang Aa Gym untuk memberikan ceramah halal bi halal bagi karyawan di perusahaan tempatnya bekerja.

‘’Sungguh luar biasa, saya sangat tersentuh dengan ceramah beliau saat itu, sampai saya tanpa sadar menangis. Dan sejak saat itulah saya merasakan ada sesuatu yang terus menggelitik untuk kenal Islam lebih jauh,’’ ungkapnya penuh haru
Mustafa Darmawan Sunarja: Nikmatnya Mendengar Azan

Pada 2002, tepatnya 8 Juli 2002 pukul 03.00 di kediaman Aa Gym, di Geger Kalong, Bandung Jawa Barat, Darmawan berikrar menjadi seorang Muslim. Ia sendiri mengaku tidak tahu persis apa yang mendorongnya memeluk Islam. Ia merasakan adanya panggilan yang kuat dalam hatinya untuk memeluk Islam.

‘’Entahlah saya tidak tahu persis. Yang pasti, saya merasa ada panggilan dalam hati untuk memilih Islam sebagai agama saya sampai ajal menjemput,'' tuturnya. Ayah Andhika Nazran Sunarja dan Aryandi Nabil Sunarja ini sangat bersyukur, karena keluarganya sangat moderat.

Keluarganya membebaskan dirinya untuk memilih pilihan hidup dalam beragama, demikian juga istri. Meski telah berbeda agama, hubungan dengan keluarganya sangat baik dan tidak ada yang berubah. ‘’Kami bisa saling memahami perbedaan ini secara dewasa dan sangat nyaman.''

Darmawan mempelajari Islam selama lebih kurang enam bulan dari seorang ustaz yang di fasilitasi Daarut Tauhiid. Namanya ustaz H Lili Chumedi. Dari ustaz itulah, ia mendapatkan wawasan tentang figur Nabi Muhammad SAW. Selain itu, guru agamanya itu juga menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap agama lainnya.

‘’Ternyata, Islam itu adalah agama yang membawa rahmat dan kebaikan bagi dunia dan seisinya,’’ tutur Darmawan. Lantas, siapa saja orang yang paling berperan sehingga dirinya memeluk Islam? Menurut dia, banyak yang berperan antara lain Ajengan Mumun, pimpinan pesantren di Garut, teman-temannya saat kuliah dan tentu saja Aa Gym.

Yang tak kalah pentingnya, kata dia, istri dan keluarga yang tetap bisa mencintai dan mendukungnya sampai hari ini. Di awal-awal menjadi Muslim, dosen STIEPAR Yapari Aktripa Bandung ini mendapat bimbingan dari para ustaz di Daarut Tauhid Bandung.

''Aa Gym dan Teh Ninih juga keluarga beliau, sering berkunjung ke perusahaan tempat saya bekerja. Kami sering makan bersama, ngobrol dengan penuh keakraban. Seluruh karyawan dibina secara baik dan intensif oleh Pesantren Daarut Tauhid. Ada pengajian bulanan. Kebetulan 95 persen karyawan di perusahaan saya Muslim. Suasana ini sungguh sangat mendukung saya yang baru masuk Islam.’’

Mustafa Darmawan Sunarja: Nikmatnya Mendengar Azan

Setelah menjadi seorang Muslim, Darmawan senantiasa berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar dirinya bisa menjadi rahmatan lil'alamin di dalam keluarga besarnya. Karena dialah satu-satunya anggota di keluarganya yang menganut keyakinan agama yang berbeda. ‘’Saya harus berbeda secara positif dari sebelumnya,’’ ucapnya.

Ia bertekad untuk memberi teladan bagi keluarga besarnya, khususnya istri dan kedua buah hatinya. Darmawan selalu berupaya mencontoh dan meneladani sosok Rasulullah SAW dalam kehidupan berkeluarga.

Darmawan bersyukur, tidak pernah merasakan sesuatu yang berbeda dari keluarga, teman pengusaha, maupun sahabat-sahabat lamanya. Ia justru merasa semakin nyaman dalam berinterakasi. Kolega dan sahabat-sahabatnya, sangat menghormati pilihannya.

Bahkan, persahabatan dengan teman-teman semasa SMA pun masih terjalin erat. Malah, ia mengaku masih tetap menjalin komunikasi dengan mantan romo pembimbing rohaninya, pada saat masih mahasiswa. Menurut Darmawan, semuanya sangat tergantung bagaimana menempatkan diri.

‘’Agama adalah pilihan yang bersifat pribadi dan tidak berkaitan dengan interaksi sosial, bukankah Rasullulah SAW juga dapat berinteraksi dengan Yahudi, Nasrani dan yang lainnya, demikian juga dalam muamallah dan perdagangan,’’ paparnya.

Sarjana ilmu komunikasi Unpad itu bersyukur mendapat anugerah yang begitu banyak dari Yang Maha Kuasa. Islam telah mengantarkannya mengelola sebuah usaha yang berhubungan dengan Tanah Suci, yang berulang kali mengantarkannya bertamu ke rumah Allah SWT, yakni Ka’bah.

Lalu bagaimana perasaannya saat pertama kali menginjakan kakinya di kota Makkah dan Madinah? Ia mengaku sangat takjub, kagum, heran, dan merasa tidak percaya akan semua yang sedang terjadi saat pertama kali berada di kedua kota suci bagi umat Islam itu. Air matanya menetes, saat melihat, keagungan kedua kota itu.

‘’Ketika itu, saya ingat ibu yang sudah meninggal dunia. Ingat dosa-dosa saya masa lalu. Saya pun langsung sujud di depan Ka’bah,’’ kisahnya. Peristiwa tersebut terjadi pada 2005, sebelum ia mengurus pendirian perusahaan perjalanan umrah dan haji.

‘’Pada waktu itu, di Raudhoh dan di Masjidil Harram saya sempat berharap dan berdoa, akan sangat menyenangkan hidup saya bila saya sering berada di Tanah Suci, melaksanakan umrah. Rupanya, Allah SWT mendengar doa saya,'' tuturnya.

Ia mengaku tertarik dengan dunia travel karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang digelutinya dalam bidang perhotelan dan pariwisata. Selain itu, juga ia penggemar berwisata dan juga memiliki jiwa untuk melayani orang

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Damanhuri Zuhri

STMIK AMIKOM

Christina Morra: Kuucapkan Syahadat di Dalam Pesawat 
Kamis, 12 Januari 2012 13:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Nama saya Christina Morra dan dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen. Saya mempunyai tiga saudara lelaki dan tiga saudara perempuan. Kami berhenti datang ke gereja ketika usia saya enam tahun. Kami percaya bahwa lebih baik membaca Injil di rumah karena kami tidak dapat menemukan gereja dengan doktrin bisa kami patuhi, makanya lebih baik kami di rumah saja. Saya yakin bahwa sikap agamis keluargalah yang menyebabkan saya memeluk Islam. Saya juga yakin bahwa perjalanan menuju Islam bermula ketika saya baru lahir. Salah satu perkara yang saya pelajari dalam Islam ialah konsep fitrah. Artinya setiap anak yang lahir dalam keadaan suci, bebas dari sebarang dosa. Oleh karenanya, kita bisa memanggil anak atau bayi sebagai Muslim.

Hanya ibu bapaknyalah yang mengajarnya untuk menjadi seorang Yahudi atau Kristen. Saya begitu tertarik sekali dengan kepercayaan Islam ini karena saya menyetujuinya sepenuh hati. Fakta menyebutkan bahwa Muslim berusaha untuk kembali dalam keadaan suci dan menjadi orang terbaik bisa menjadi benar pada pandangan saya.

Saya mulai mengenal Islam dari beberapa orang rekan Muslim saya di internet. Tidak semua teman saya Muslim, tetapi Alhamdulillah saya punya beberapa orang teman Muslim yang baik. Sebelumnya memang saya tidak mengetahui apa-apa. Hanya, saya teringat pada seorang Muslim yang bekerja dengan ayah saya. Waktu itu saya belajar mengucapkan "Assalamualaikum".
Saya tertarik dengan orang ini yang kelihatan lembut dan damai serta berpakaian serba putih. Perlahan-lahan saya baru bahwa memberi salam kepada anak-anak merupakan satu perbuatan baik.

Saya pernah menulis satu artikel berkaitan dengan kecenderungan dan minat saya untuk belajar tentang berbagai budaya dan kemanusiaan. Ketika itu saya belajar di sekolah tinggi. Artikel itu mendapat perhatian dari guru pembimbing kami. Guru bahasa Inggris saya turut memuji artikel tersebut. Ketika masa berlalu, hubungan saya dengan umat Islam juga semakin meningkat. Saya menjadi lebih tertarik untuk belajar mengenai Islam.

Ketika kuliah, saya mengambil mata kuliah agama. Sayangnya, materi yang disampaikan tidak banyak memberikan informasi tentang Islam. Saya merasa yang harus dipelajari adalah Islam. Oleh karena itu, saya mengambil mata kuliah Islam klasik. Saya juga turut belajar bahasa Persia karena begitu minat untuk mempelajari bahasa. Asik dengan minat yang saya geluti membuat saya memutuskan tidak melanjutkan kuliah bidang arsitektur.

Teman baik saya, Ehsan, seorang yang saya kenal lewat internet, adalah teman baik untuk belajar Alquran. Saya banyak sekali menanyakan persoalan berkaitan Islam kepadanya. Dia datang dari Iran untuk menemui saya di Amerika. Kami bertemu di Texas. Saya juga bertemu dengan ramai warga Iran di sana.
Kemudian saya kembali ke universitas, pada saat itulah saya memasuki kelas Klasik Islam. Saya tetap melanjutkan pembahasan saya tentang Islam bersama Ehsan. Saya benar-benar puas hati dengan pembelajaran Islam saya. Karena saya mengambil studi bahasa. Bahasa Arab merupakan satu hal yang amat penting buat saya.

Saya juga mendapati bahwa dalam Islam, tidak seperti Kristen, kita haruslah berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik demi Allah. Melakukan perbuatan yang diridhai oleh-Nya. Walaupun secara alami kita bukanlah manusia sempurna dan tidak bisa menjamin diri sendiri untuk bisa masuk surga. Lalu mengapa harus menghukumi orang lain? Agama yang saya anut adalah sebuah agama dimana sebagai manusia biasa, kita diberi kesempatan untuk meminta maaf dan bertobat. Seorang pelacur bisa masuk surga karena memberi air pada seekor anjing, sebuah perbuatan yang kelihatan amat mudah tetapi diridhai Allah.

Kesimpulannya, Islam memberi jawaban atas segala persoalan yang menjadi tanda tanya bagi saya selama ini. Dahulu saya pernah terpikir memiliki agama yang sempurna. Saya percaya bahwa manusia harus memiliki agama, bahwa Tuhan berhubungan dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka. Saya menemui konsep tersebut dalam Islam, makanya saya bisa memberikan kepercayaan saya pada agama ini dan segala yang saya temukan adalah benar dan sempurna.

Tidak lama kemudian, saya pergi ke Texas dan Ehsan memberi dukungan untuk saya menyebutkan kalimat syahadah. Dia mengajarkan saya cara menunaikan shalat, sebelumnya saya sudah melihat dia menunaikan shalat. Shalat adalah sebuah manifestasi yang indah. Bagaimana pun saya masih berpendapat saya harus belajar lebih banyak lagi. Islam adalah sebuah agama yang luas dan saya ingin sekali memeluk agama Islam pada hari yang istimewa.

Ketika saya melakukan penerbangan dari Texas pulang ke Tennessee, pesawat yang saya naiki mengalami gangguan sebelum memulai penerbangan. Saya terpikir akan kematian yang bisa datang tiba-tiba. Jika saya mati menghadap Tuhan, saya belum juga menjadi seorang Muslimah. Saya tidak ingin perkara tersebut terjadi. Maka saya pun memikirkan untuk mengucap syahadat dan Allah SWT sebagai saksinya.

Kemudian, saya menyebut kembali kalimat syahadat di hadapan Ehsan sebagai saksi. Itu bertepatan dengan hari lahir Nabi Muhammad Saw . Dahulu saya merasa bingung dengan masa depan saya, apa yang akan saya lakukan, apa akan jadi dengan diri saya. Ketika mengenang kembali hal tersebut, saya tahu bahwa sebenarnya saya belum menemui jalan yang membawa saya kepada Islam. Insya Allah Allah akan membimbing saya dan membuka jalan untuk saya mempelajari Islam sekarang dan disepanjang kehidupan saya, sehingga saya dapat pula mengembangkannya.

Alhamdulillah Islam sebenarnya adalah indah, jauh dari rasisme dan kebencian. Islam merupakan bimbingan sempurna yang dapat memenuhi keperluan individu dan masyarakat. Saya benar-benar percaya bahwa seseorang itu memerlukan Islam untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik dan membentuk sebuah tempat yang lebih kokoh. Islam bukan untuk diperdebatkan dan mencari perhatian. Sejatinya, mengamalkan Islam dengan benar merupakan cara terbaik untuk semua manusia di alam sejagat ini. Alhamdulillah, saya bertemu orang-orang sedemikian dan insya Allah saya akan berusaha untuk menjadi orang seperti itu demi Allah.

Redaktur: Endah Hapsari
Sumber: irib

STMIK AMIKOM


Pertama ke Masjid, Khadijah Roebuck Kendarai Mobil Sport dengan Musik Bising
Sabtu, 07 Januari 2012 14:22 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Wanita ini terlahir 48 tahun lalu dengan nama Tracey Roebuck dalam keluarga Kristen taat. Ia menikah selama duapuluh lima tahun dan rajin mengunjungi gereja bersama anak-anaknya setiap pekan ketika mereka tinggal di rumah.

Kini ia sudah bercerai. Dalam enam bulan terakhir ia telah menjadi Muslim. Namun ia kadang ia masih tak yakin apa yang memotivasinya untuk membuat perubahan besar dalam hidup meski ia yakin dengan agama yang dipeluknya sekarang.

"Saya tahu bakal terdengar aneh, namun satu hari saya adalah Tracey yang masih Krisen dan pada hari berikut saya adalah Khadijah seorang Muslim dan semuanya terlihat benar," tuturnya.

Sebelum menjadi Muslim, yang Khadijah pahami soal Islam hanyalah tak menenggak alkohl dan tak menyantap babi. "Saya masih ingat pertama kali berkendara ke masjid. Saat itu lucu. Saya mengendarai mobil sport dengan musik keras-keras" kenangnya.

Khadijah tak yakin bakal dibolehkan masuk namun ia nekat. "Saya bertanya siapa yang bertanggung jawab di sini. Saat itu saya tak tahu bahwa ia adalah imam. Kini siapa menyangka saya mengenakan jilbab dan shalat lima kali dalam sehari," ujarnya.

Saat memeluk Islam, putranya adalah orang yang pertama kali kaget bercampur ngeri. "Ia sulit mempercayai. Yang paling sulit adalah ibu saya mengingat ia adalah pemeluk Katholik Roma taat," tutur Khadijah. Ibunya tidak bisa menerima sama sekali perubahan putrinya.

"Tapi yang terutama yang saya rasakan saat memeluk Islam adalah perasaan damai yang tak bisa saya temukan di Masjid, itu sangat menarik," ungkapnya. Perasaan itu, imbuh Khadijah, kian kental dan menguat saat Ramadhan tiba. "Saya sungguh mencintai setiap detiknya hingga hari terakhir Ramadhan, saya bahkan menangis," tuturnya.

Saat menjadi Muslim ia menyadari bahwa banyak orang di luar agama tersebut bingung membedakan antara Islam dan budaya. Khadijah mulai memahami bahwa Muslim membawa budaya mereka yang berbeda ke masjid begitu pula adat dan intepretasi berbeda. "Ada muslim Saudi, Mesir, Pakistan dan tentu saja ada saya di sana," ungkapnya.

Khadijah tak ingin terjebak dalam satu budaya. Ia selalu mencoba berbaur dan berteman dengan siapa pun. "Saya bisa dimana saja karena itu banyak saudara sesama Muslim berkata, "Itulah mengapa kami mencintaimu Khadijah, kamu menjadi dirimu sendiri."



Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: The Independent

STMIK AMIKOM


Mualaf Clay , Ia Bahagia Mengetahui Islam Menghormati Yesus
Selasa, 03 Januari 2012 14:31 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Awalnya Clay tak yakin bahwa Alquran sebagai satu-satunya sebab yang menjadikannya masuk Islam, ia berfikir Islamnya ia hari ini terjadi atas kehendak Allah. “Saya tidak pernah tahu bagaimana pikiran saya bisa berubah. Allah yang mengendaki saya suatu hari akan memeluk Islam. Alhamdulillah, setelah 18 bulan, aku tiba-tiba terbangun dengan rasa iman di dada dan (tiba-tiba) mengenali-Nya,” kata dia.

Clay mulai memeluk Islam setelah 18 bulan mempelajari Islam. Keislamannya seperti sesuatu yang spontan. Ia tiba-tiba terbangun di tengah malam dan berujar, “Hei, subhannallah, saya muslim!".

Mengutip hadis, ia mengatakan bahwa siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak seorangpun yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, siapa yang disesatkan oleh Allah maka tida seorangpun yang bisa memberinya petunjuk (HR. Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi).

Ketika menjadi muslim ia bahagia mengetahui Islam menghormati Nabi Isa. Clay tidak memungkiri hak-hak ilahiah yang diberikan kepada Yesus (Isa). “Ketika saya tahu bagaimana Islam menggambarkan tentang Yesus, aku senang melihat bahwa Yesus digambarkan sebagai seorang nabi (Isa/Yesus juga disebut Mesias),” kata dia.

Salah seorang Muslim pertama yang ia temui selama 18-bulan masa belajar Islam pernah melontarkan satu hal. "Yesus adalah seorang nabi Allah yang harus dihormati. Meninggal dengan cara disalib bukanlah cara yang baik untuk mati. Dan ini tidak cocok untuk seorang nabi Allah,” ujar dia. Saat itu ia baru menydari bahwa umat Islam begitu menghormati Yesus.

Setelah memeluk Islam, ia berharap semua umat Islam di dunia mendapatkan hidayah agar ibadah yang dilakukan semakin baik dan sempurna. Ia merasa sedih dengan pemberitaan tentang Islam yang beredar di media, misalnya tentang teroris.

“Sangat menyedihkan bahwa orang tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang Islam dalam berita dan media,” ujar dia. Jika ada sesuatu yang salah tentang Islam, media langsung memberitakannya. Menurutnya, media pintar sekali membisniskan berita. “Padahal seorang muslim sejati tidak akan pernah menjadi teroris. Dan teroris itu bukanlah muslim sejati,” katanya.

Mualaf Clay , Saat Ingin Pengaruhi Teman Muslimnya, Ia Justru Tercerahkan
Nikmat Islam dan Iman akan diberikan Allah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Clay, termasuk salah satunya. Tak pernah ia menyangka, selama 20 tahun memeluk Kristen evangelis, ternyata ia hanya membutuhkan waktu kurang dari dua tahun sebelum menyatakan beriman kepada Allah. Kini, sudah 4,5 tahun mantan mahasiswa Universitas Arizona ini memeluk agama Islam.

Ia mengaku tak pernah tahu apa-apa tentang Islam. “Kecuali apa yang mereka katakan kepadaku saat masih di kelas lima. Yang mereka ajarkan kepadaku adalah Alquran itu hal besar,” ujar dia.

Saat masih berkuliah (18-20 tahun), ia sering berlajar bersama teman di ruang bawah tanah perpustakaan. Kelompok belajarnya berasal dari campuran beberapa agama.

Saat belajar, mereka tak hanya mendiskusikan pelajaran. Topik lain seperti politik dan agama juga menjadi santapan. Di antara teman kelompoknya itu, ada satu orang muslim. Kepada kawan muslimnya, ia pernah menyimpan niat untuk ‘mengkristenkan’ orang itu. Dalam hati, ia berujar, “Aku akan membawa orang ini menuju Kristus,” katanya.

Ia pernah beberapa kali memberi masukan tentang Kristen. Sebagai orang Kristen, ia merujuk pada perjanjian baru Alkitab. Temannya mendengarkan dengan saksama. Sampai kemudian mereka berpisah, Clay mendoakan agar si muslim bisa masuk Kristen.

Melihat ada gelagat aneh untuk mengkristenkan temannya, sang kawan yang Muslim lantas menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan Clay. "Dengar, aku akan melakukan apa pun yang Anda inginkan. Jika anda ingin saya untuk membelikan anda mobil, aku akan membelikanmu mobil,” ujar Clay menirukan kawannya. Lalu Clay hanya menjawab bahwa ia tak menginginkan apapun dari teman muslimnya kecuali ia menjadi Kristen.

Siapa sangka, pengalaman sang teman muslim justru memberikan pencerahan pada Clay. Sambil mengobrol, Clay baru tahu latar belakang si Muslim yang ternyata seorang atheis. Sebelum menjadi Muslim, dari atheis ia memeluk Kristen, kemudian ke Katolik, baru akhirnya memeluk Islam.

Meski informasi itu sempat mengusiknya, Clay tetap pergi ke gereja hingga usianya 20 tahun. Menjelang usia 30-an, ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia penasaran tentang Islam.

Saat panggilan itu muncul, timbul pula rasa ragu antara ‘ya dan tidak’ untuk mempelajarinya lebih lanjut. Butuh waktu sembilan bulan baginya untuk memutuskan akan mencari tahu tentang Islam. “Jadi aku pergi ke toko buku dan membeli terjemahan bahasa Inggris dari ALquran dan mulai membacanya,” ujar dia.

Ia hanya membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menyadari ada gambaran yang berbeda tentang Tuhan dari kitab suci yang belum lama ia baca itu. Saat ia membaca terjemahan Alquran, ia menyadari Islam adalah agama yang sangat terfokus dan bahwa Tuhan adalah sumber dari segala kekuatan yang ada.

“Tak satu pun dari kekuasaan diperuntukkan bagi orang lain. Semua takdir yang baik, buruk, jelek, indah dan yang akan terjadi, hanya Allah yang punya kuasa,” kata dia. Entah karena apa, ia merasa keinginan untuk memuji Allah seperti tumbuh saja pada dirinya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Dwi Murdaningsih

STMIK AMIKOM



Ruben Sempat Mencemooh 'Apa Belajar Islam? Itu Gila!'
Jumat, 04 Maret 2011 12:02 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia ditimpa banyak masalah. Teman dekatnya meninggal karena kecanduan narkoba. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan keuangan.

"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.

Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben.

Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya," tutur Ruben.

"Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.

Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil beropini," tutur Ruben.

"Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen," katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.

Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. "Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.

Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami."

Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.

Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.

Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, "Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila."

Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben.

Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat," tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.

Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben.

Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.

"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.

"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan".

"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."

Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.

"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. "Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup," tuturnya.

Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. "Ayolah Allah satu saja," ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. 'Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan'" ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.

Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)

Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben.

Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.

Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat belepotan, pemandu saya bilang 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben.

Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.

Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir 'Allahu Akbar' dari jamaah pria yang berada dalam masjid. "Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.

"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara."

Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu." tutur Ruben.

Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."


Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: YouTube/Berbagai Sumber

STMIK AMIKOM


Mualaf Steven Longden Kaget Temukan Fakta: Kakek Buyutnya adalah Walikota Muslim Pertama
Selasa, 31 Mei 2011 16:03 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, MANCHESTER - Seperti banyak orang, Steven Longden mengaku identitasnya beragam, baik dalam keluarga, lingkungan, daerah, afiliasi keagamaan, pendidikan, dan hingga etnis. Namun ia kini mengaku bahagia, karena ia kini memiliki "kacamata" untuk memandangnya: keimanannya. "Budaya Islam memainkan peran penting dalam kehidupan saya sekarang," katanya.

Menjadi eksklusif? Steven menggeleng. "Iman saya tidak mengharuskan saya untuk menghindari yang terbaik dari pengaruh budaya lain yang penting dalam hidup saya. Jadi, sebagai seorang mantan Kristen saya dapat bersukacita dalam persahabatan yang saya buat pada tahun-tahun sebelum saya menjadi Muslim," katanya.

Bahkan, ia masih datang ke gereja untuk acara-acara non-agama: pernikahan, merayakan pembaptisan anak seorang kenalan, berpidato saat pelepasan jenazah neneknya yang meninggal. "Saya diterima, dihargai sebagai Muslim, diakui sebagai orang beriman dalam Tuhan," katanya.

Selama bertahun-tahun, ia bahkan belajar bahwa mualaf kerap efektif menjembatani kesenjangan antara teman dan komunitas agama yang berbeda. "Banyak dari kita telah mengembangkan wawasan multikultural dan empati lah yang membantu untuk membawa pemahaman dan kepercayaan antara orang-orang di sekitar kita," katanya.

Ia betul-betul lahir dalam keluarga multilatar belakang. Ia berdarah Inggris, tapi besar di Afrika Timur. Sehari-hari, ia berbahasa Urdu, Swahili, dan Inggris.

Melanjutkan pendidikan ke Inggris, ia menikah dengan gadis kulit putih kelahiran Manchester.

Perjalanan spiritual lah yang menyebabkan pasangan muda ini mengenal Islam. Lama mempelajari, ia yakin Islamlah yang dicarinya. Ia bersyahadat. beruntung, keluarga besarnya mendukung, walau mereka tetap pada keyakinan mereka.

Ia mengakui, menjadi seorang Muslim tidak mudah. "Tapi Alquran memang menyebut, setiap kita pasti akan diuji," katanya.

Ia bukan tak merasakan dampak serangan 11 September yang membuat kaum Muslim menjadi bulan-bulanan di seluruh dunia. Namun ia menjalani dengan sabar. "Tapi di luar itu, setelah menganut islam saya merasakan kedamaian, terpesona dan sadar bahwa sebagai seorang Muslim di Inggris, saya merasa sebagai orang paling istimewa di dunia saat ini," katanya.

Lebih bahagia lagi, katanya, saat suatu hari sang ayah memberitahunya, kakek buyutnya adalah seorang Muslim, 92 tahun lalu. Ia menjadi Muslim pada tahun 1898, tepat pada usia 70 tahun. Ia bernama Robert Reschid Longden, kulit putih generasi pertama yang menganut Islam.

Dibesarkan dalam sekte Israel Kristen, dia naik menjadi Walikota Stalybridge pada tahun 1875. Pada 1850 dia menjadi tertarik pada urusan Kekaisaran Ottoman, yang tidak diragukan lagi, membimbingnya di jalan menuju Islam. Pada 1901 ia menjadi tangan kanan mufti Inggris, Syaikh Abdullah Quilliam, dan terlibat dalam beberapa dialog antaragama pertama di Manchester.

"Penemuan ini mengejutkan dan menempatkan konversi saya ke dalam perspektif dan telah telah menjadi sumber kebanggaan dan kenyamanan bagi keluarga saya, baik Muslim dan non-Muslim, dan masyarakat yang lebih luas. Memang, tidak akan menjadi kejutan bagi Anda, tapi ini sesuatu yang luar biasa bagi saya," ujarnya. Ada nada haru dalam ucapannya...

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: being.publicradio.org

STMIK AMIKOM

Sebelum Menjadi Ruqaiyyah, Rosalyn Rushbrook Adalah Penulis Buku-buku Nasrani
Kamis, 02 Juni 2011 09:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Menyebut nama Rosalyn Rushbrook, publik Inggris pasti akan segera ingat buku-buku pengetahuan dasar Kristen. Peraih gelar sarjana teologi di Hull University ini memang aktif menulis buku-buku bertema Kristen untuk penerbit beberapa arus utama. Bahkan, beberapa bukunya direkomendasikan untuk mengajaran di banyak sekolah di Inggris.

Wanita kelahiran tahun 1942 ini menikah dengan penyair George Morris Kendrick pada tahun 1964 dan kemudian memiliki dua anak. Pernikahan mereka berakhir setelah suaminya berpindah menganut agama Scientologis tahun 1986.

Akhir tahun 1986, ia menemukan hidayah. Ia menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Ruqaiyyah.

Pada tahun 1990 ia menikah dengan seorang pria kelahiran Pakistan, Waris Maqsood Ali. Namun sembilan tahun kemudian mereka bercerai karena Waris menikahi sepupunya yang masih muda di Pakistan, demi memungkinkan status istri barunya menjadi warga Inggris.

Setelah menjadi Muslim, ia aktif menulis buku-buku keislaman. Ia menjabat sebagai Kepala Studi Keagamaan di William Gee High School, Hull, Inggris. Ia telah menulis lebih dari empat puluh buku tentang berbagai aspek agama, berkonsentrasi pada antara lain indahnya menganut Islam dan pedoman bagi para mualaf.

Banyak dari buku-bukunya diterbitkan oleh Goodword Press dari New Delhi, termasuk Living Islam, The Muslim Prayer Encyclopedia, dan buku-buku konsultasi bagi remaja. Dia pernah diundang oleh Hodder Headlines untuk menulis buku Islam dalam bab World Faiths dalam seri buku populer di seluruh dunia, Teach Yourself

Dia juga telah menciptakan program yang memungkinkan siswa untuk mempelajari Islam. Buku berjudul Islam ini diterbitkan oleh Heinemann Press pada tahun 1986 dan terus dicetak ulang, dan Do-it-Yourself Coursebook untuk menyertainya yang diterbitkan oleh IPCI. Buku ini telah digunakan secara luas di sekolah-sekolah Inggris selama lebih dari 20 tahun, dan studi DIY kini telah diambil oleh banyak orang mahasiswa, dan kelompok swasta tidak hanya di Inggris tapi di beberapa negara.

Dia ada di antara Muslim Inggris pertama yang menerima penghargaan Muslim News Awards for Excellence pada tahun 2001, dan Muhammad Iqbal Award untuk Kreativitas dalam pemikiran Islam.

Berikut petikan wawancaranya dengan BBC soal keislamannya:

Bagaimana menjadi mualaf di mata Anda?

Tak ada yang lebih mudah dari berpindah menjadi Muslim - momen ketika kita menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa Allah itu memang ada, dan seorang pria kelahiran Arab bernama Muhammad adalah utusan-Nya. Kemudian kita bersyahadat. Ini langkah pertama kita menjadi Muslim. Bertakwa, kemudian hati menjadi ihsan.

Dari segi sosial, Islam harus menjadi bagian dari gaya hidup Anda. Bagi mualaf perempuan, maka artinya ada pertaruhan besar menyangkut pembangunan kepercayaan diri. Tak hanya karena cara berbusana juga berubah -- yang pasti akan disertai perubahan sikap keluarga dan orang-orang terdekat -- juga Anda harus bersiap tak disapa seorang pria pun di masjid manapun yang Anda masuki (ia menyampaikannya dengan sedikit bercanda).

Bagimana makna menerima keyakinan Islam?

Menjadi Muslim, artinya mendapatkan keyakinan universal. Kita tak perlu berpura-pura menjadi orang Arab atau Pakistan, untuk merasa memiliki dan dimiliki oleh Islam.

Kita sekarang tahu ada Muslim di setiap tempat di dunia, dari Eskimo hingga Aborigin.

Kita mungkin mengambil nama Arab, atau kita dapat memilih untuk menjaga nama lama kita, itu tidak terlalu penting.


Ada kekecewaan setelah menjadi Muslim?

Kita telah menjadi cukup dewasa untuk menyadari bahwa tidak setiap Muslim adalah orang suci. Mereka adalah juga manusia biasa dan kebanyakan dari kita jauh dari sempurna.

Kita mungkin akan mendapatkan kekecewaan menemukan bahwa tidak setiap Muslim hidup dengan cara muslim. Tapi al ini tidak membuat kami menyerah atau menuduh mereka bagian dari kemunafikan, kita hanya melakukan yang terbaik untuk hidup kita sendiri dengan cara terbaik yang kita bisa.

Beberapa Muslim sangat spiritual dalam arti Islam benar-benar menjadi tuntunan hidupnya, sementara beberapa hanya ritualistik dalam berislam.

Tapi kami para Muslim 'pendatang' semakin merasa kita dapat mengambil tempat bersama yang lain dalam hal ini umat yang luas atau keluarga, dan selama kita melakukan yang terbaik, Allah akan memberikan balasan atas niat baik kita.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: BBC, Islam for Today

STMIK AMIKOM


Nuh HA Mim Keller Tertarik pada Islam karena Lebih Utuh dan Sempurna
Selasa, 14 Juni 2011 17:01 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO - Nuh Ha Mim Keller masyhur sebagai seorang pakar hukum Islam. Bahkan, ia ditabalkan menjadi seorang teolog dan pakar tasawuf terkemuka di Barat. Keller pun menerjemahkan sederet kitab ke dalam bahasa Inggris. Di balik semua pencapaiannya itu, siapa sangka, ia adalah seorang penganut Katholik Roma yang kemudian memeluk Islam.

Keller terlahir pada 1954 di Northwestern, Amerika Serikat (AS). Ia lalu mengambil studi filsafat dan bahasa Arab di Universitas Chicago dan Universitas California, Los Angeles. Ia mengaku dibesarkan di sebuah daerah pertanian dalam keluarga yang taat menganut Katholik Roma.

“Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu sertamerta menimbulkan persoalan, dalam akidah ataupun amal,“ ujarnya sepeti dikutip dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty.

Sejak kecil, ia mencoba membaca Alkitab. Namun, saat membacanya, ia menilai kitab suci itu bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren. “Sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup,“ tutur Keller. Pandangannya tentang agama yang diwariskan orang tuanya itu semakin terbuka ketika dia mulai masuk kuliah.

“Ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnya Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermeneutik modern kaum Kristen sendiri,“ ungkapnya. Rasa penasaran tehadap kebenaran agama yang dianutnya sangat tinggi. Ia lalu membaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Hal itu dilakukannya agar bisa memahami teologi kontemporer.

Keller pun mulai terpengaruh dengan pandangan Jeremias dan teolog Jerman, Rudolph Bultmann, yang menyatakan bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Menurut mereka, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian Baru secara meyakinkan.

“Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya?“ ujar Keller. Ia lalu belajar filsafat di universitas.
Menurutnya, filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaran­Apa yang Anda maksudkan? Dan, bagaimana Anda tahu?
Ia pun mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agama Katholik Roma yang dianutnya. “Namun, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Barat­yakni mencari makna di balik dunia tak bermakna,“ ungkap Keller.

Dalam masa pencarian kebenaran itulah, ia kemudian mulai mengenal Alquran. Awalnya, ia hanya membaca terjemahan Alquran. Keller mengaku tak begitu tertarik dengan terjemahan Alquran itu. Ia justru penasaran dengan Alquran yang berbahasa Arab.

“Aku tahu kitab aslinya (Alquran) yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia.
Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya,“ paparnya.
Ia pun memutuskan untuk belajar bahasa Arab di Chicago.

Dalam waktu satu tahun, ia berhasil mempelajari tata bahasa dengan nilai yang baik. Meski begitu, ia masih merasa kurang. Keller akhirnya memutuskan untuk mempelajari bahasa Arab ke Kairo, Mesir. Di Mesir, Keller mengaku men emukan sesuatu yang benar-benar membawanya kepada Islam.

“Yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya,“ ujar Keller. Di negeri piramida itu, ia bertemu dengan banyak Muslim, mulai dari yang baik hingga yang buruk.

Selama di Mesir, ada sebuah pengalaman yang berkesan di hati Keller. Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas. Tempat itu biasa dilewatinya. Ia pun mendekati orang itu. Ternyata pria itu sedang shalat di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air.

Awalnya, Keller mengaku akan lewat di depan orang itu. Namun, niat itu diurungkannya. Ia memilih memutar dan berjalan di belakang pria yang sedang shalat itu karena tak ingin mengusiknya. “Aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku.“

Ia pun sempat bertemu seorang remaja di Kairo. Anak itu lalu mengucapkan salam kepada Keller di dekat Khan Al-Khalili. Siswa yang duduk di sekolah menengah pertama yang pandai berbahasa Inggris itu bercerita kepadanya tentang agama Islam. Dia menjelaskan tentang Islam semampunya. “Ketika kami berpisah, kurasa dia berdoa agar aku menjadi Muslim,“ tuturnya.

Saat berada di Kairo, Keller mengaku memiliki seorang teman yang berasal dari Yaman. Ia selalu meminta temannya itu untuk membawa Alquran dan mengajarinya belajar bahasa Arab. Di kamar hotel tempatnya menginap tak ada meja. Sehingga, Keller pun meletakkan Alquran di dekat buku-buku yang berjajar di atas lantai.

Melihat Keller menyimpan Alquran di atas lantai, temannya lalu membungkuk dan mengangkatnya. “Ia memuliakan Alquran. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya,“ ungkap Keller.

Saat berada di Mesir, Keller mengaku mengalami banyak peristiwa dan pengalaman. Setelah melepas agama Katholik Roma yang dianutnya, ia lebih memilih untuk tak beragama sementara waktu. Dalam kondisi tak beragama itulah, pikirannya selalu berkecamuk.

Ia menyadari pun bahwa seorang manusia haruslah beragama.
Pada saat itu, ia mulai terkesan pada pengaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim. Keller menilai agama Islam begitu mulianya tujuan. “Aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna.“

Keller pun kerap merenung. Hingga akhirnya, ia menyadari bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan jalan. Agama yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun benar-benar jatuh cinta dengan Islam.

Hingga akhirnya, seorang temannya di Kairo mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim?“ Ketika mendengar pertanyaan itu, Keller telah meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan dirinya untuk menjadi bagian dari agama Islam. “Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tin dakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah,“ tuturnya. Keller pun mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslim pada 1977 di Kairo, Mesir. Hingga akhirnya, ia menjadi seorang pemikir dan ulama terkemuka. Islam dalam Pandangan Nuh Ha Mim Keller Oleh Heri Ruslan Keller adalah pakar hukum Islam yang diakui kehebatannya oleh seorang ulama terkemuka Abd alRahman al-Shaghouri. Tak heran jika Keller pun diakui sebagai seorang Syekh pada tarekat tawasuf Shadhili. Ia menetap di Aman, Yordania. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Islam di abad modern.

Lalu, apa pendapatnya tentang kondisi umat Islam saat ini? Syekh Nuh Ha Mim Keller berpendapat bahwa nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideologi dunia.

“Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya,“ paparnya. Menurut dia, peradaban Islam pernah tergelincir pada harubiru kehancuran akibat serbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 M.

Saat itu, kata dia, bangsa Mongol menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. “Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT, dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlan sung selama berabad-abad,“ ungkapnya.

Menurut dia, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Heri Ruslan

STMIK AMIKOM



Emma Taylor, Si Dugem Yang Kini Memeluk Islam
Jumat, 01 Juli 2011 16:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON - Ada sekitar 100 ribu mualaf di Inggris Raya yang kebanyakan adalah kaum wanita kulit putih. Berdasarkan studi organisasi Faith Matters, jumlah tersebut meningkat dibanding data 2001 sebanyak 60 ribu mualaf.

Studi Universitas Swansea menemukan sebanyak 5,200 penduduk Inggris tahun lalu telah memeluk Islam. Survei terhadap 122 mualaf tahun lalu menunjukkan sebanyak 56 persen mualaf merupakan warga Inggris berkulit putih. Sebanyak 62 persennya adalah kaum wanita.

Seperti dikutip thesun.co.uk, Samantha Wostear dan Dulcie Pearce mewawancarai tiga wanita mualaf. Emma Taylor, wanita usia 30 tahun asal Reading, adalah salah satunya. Jauh sebelum menjadi mualaf, Emma adalah gadis dugem yang menghabiskan waktu dengan berpesta.

''Saya tumbuh dalam lingkungan keluarga Katolik. Tapi, setelah lulus sekolah, pesta dan gaya hidup WAG menjadi agamaku,'' kata Emma. ''Saya suka membeli baju-baju seksi dan dugem bersama teman-temanku.''

Bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah perusahaan, penghasilan Emma hanya sebesar 16 ribu poundsterling. Namun, Emma tahun lalu mulai menekan pengeluarannya dengan hidup berbagi rumah. Emma pun bisa menyisihkan penghasilannya untuk ditabung.

Hidayah lewat Shalat
Pada Januari tahun lalu, Emma mulai berpikir tentang kehidupannya yang hampa. Dia selalu bangun pagi dengan kondisi belum pulih dari hasil mabuk semalam. Emma tidak pernah memiliki hubungan yang serius dan panjang dengan lelaki. Dia juga tidak memiliki sebuah ambisi dalam kehidupannya.

Emma dalam kondisi terpuruk ketika teman Muslimnya suatu malam datang mengundangnya untuk makan malam. Susan, nama sang teman tersebut, lebih stabil dan berisi dibandingkan dengan teman-teman Emma lainnya.

''Saya selalu meminta nasehat kepada Susan. Padahal, dia lebih muda dua tahun dari diriku,'' kata Emma. ''Dia masuk Islam tiga tahun lalu.''

Ketika Emma masuk ke kamar Susan, Emma melihat Susan sedang shalat. ''Saya memerhatikannya dan dia terlihat begitu damai dengan kehidupannya,'' katanya.

Sejak saat itu, Emma mulai tertarik untuk mengetahui Islam lebih dalam. Emma sering bertanya kepada Susan tentang Islam. ''Tapi, Susan tidak mengguruiku. Dia justru menyarankan aku untuk mencari informasi tentang Islam lewat internet dan memintaku pergi ke masjid,'' ujarnya.

Perasaan Yang Aneh
Pada 2 Maret, Emma pergi ke masjid bersama Susan. ''Dia mengatakan bahwa saya harus memakai pakaian sopan. Dia memberiku jilbab,'' kata Emma. ''Itulah hari yang mengubah kehidupanku.''

Duduk bersama dengan muslimah lainnya, Emma mengaku dirinya saat itu merasakan suatu perasaan yang aneh. Dia merasakan sesuatu yang melegakan hatinya. Emma merasa permasalahannya selama ini langsung hilang.

Emma menyukai pertemuan yang dipisahkan antara kaum wanita dan pria. Dia menikmati rasa persaudaraan dalam pertemuan tersebut. ''Untuk pertama kalinya, saya merasakan sisi spiritualku hidup,'' katanya.

Masa Lalu
Dengan bantuan teman, Emma akhirnya memeluk Islam. Itu merupakan perubahan radikal dalam kehidupannya. Teman-temannya menilai Emma sudah gila.

Namun, Emma mencoba bertahan menghadapi orang-orang yang tidak menyukai keputusannya untuk masuk Islam. Dia kini memiliki komunitas Muslin sebagai teman baru yang berasal dari berbagai ras dan sangat terbuka.

''Saya sekarang shalat lima waktu sehari, membaca Alquran, pergi ke masjid dan disambut hangat oleh setiap orang. Banyak wanita kulit putih seumuranku,'' katanya.

Dugem dan pesta kini menjadi masa lalu Emma. Dia mengaku sudah tidak minum-minum lagi dalam enam bulan terakhir. Emma teringat ketika dia menyelinap-nyelinap untuk minum minuman keras pertama kali pada usia 13 tahun.

Emma kini mengenakan pakain abaya dan jilbab tiap kali pergi keluar rumah. Dia juga tidak lagi makan babi. ''Saya katakan kepada teman-temanku bahwa kesukaanku pada daging babi kini telah digantikan dengan kecintaanku terhadap agama baruku.''

Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: www.thesun.co.uk

STMIK AMIKOM


Di Tengah Meningkatnya Sentimen Anti Islam, Hannah Snider 'Melawan Arus' dan Bersyahadat
Rabu, 03 Agustus 2011 10:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES - Pada 27 Mei 2011, Hannah Snider bersyahadat, mendeklarasi imannya dalam Islam. Namun, wanita Asal Los Angeles, Amerika Serikat ini, mengaku tidak menjadi seorang Muslim pada hari itu. "Saya selalu Muslim, tapi tidak menyadarinya. Saya selalu percaya pada satu Tuhan. Hati saya telah Muslim," katanya.

Pemikiran ini, katanya, tak hanya merupakan salah satu pilar yang paling dasar, namun yang paling penting dari sebuah agama.

Tumbuh dalam lingkungan yang tak pernah bersinggungan dengan Muslim, Hannah tak pernah tahu tentang Islam. "Alasan saya tidak pernah tahu tentang agama agung ini karena tidak ada yang pernah mengatakan kepada saya. Aku punya teman sekamar Muslim, telah bertemu dengan orang Muslim, tapi tak seorang pun memberitahu saya apa yang umat Islam yakini," katanya.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun mencoba memahami tentang berbagai agama, seorang teman memintanya menjelaskan keyakinan dasarnya. Saat itu, ia mengaku percaya Tuhan tapi tak menganut satu agamapun. "Dia mengoreksi saya dengan menjelaskan bagaimana Islam masuk ke dalam keyakinan saya, dan saya mulai meneliti dan belajar dan membaca Alquran," katanya.

Jujur, katanya, ia takut ketika menyadari bahwa Islam telah merasuki hidupnya. Tempat dia lahir dan dibesarkan, Amerika, tidaklah 'ramah' untuk umat Islam. "Dan setelah semua gambaran media yang negatif tentang Islam, semua teman-teman saya berpandangan sama tentang agama ini," tambahnya.

Namun, katanya, setelah ditelusuri, kebencian mereka pada Islam bersumber pada kurangnya pengetahuan tentang Islam, dan seringkali dangkalnya pengetahuan akan agama mereka sendiri. Rasa takutnya bakal dikucilkan setelah memeluk Islam sirna, dan ia bertekad untuk bisa menjelaskan lebih jauh tentang Islam pada rekan-rekannya.
Ia pun bersyahadat.
***
Kini, diakui atau tidak, Hannah bak humas bagi Islam. Orang-orang nyaman mengajukan pertanyaan-pertanyaan padanya tentang agama barunya, baik di toko kelontong, atau di mal, atau di kantor. "Saya tidak pernah tersinggung. Ini adalah bagian dari agama kita untuk menjangkau orang lain dan menyebarkan pesan Islam. Ini disebut dakwah," katanya.

Ia menjelaskan tentang Islam, tanpa pretensi menarik pengikut. "Beragama itu lahir dari kesadaran, bukan paksaan," tambahnya.

Harapannya, kalaupun mereka tidak setuju pada ajaran Islam, setidaknya bisa menoleransi. "Menemukan perbedaan, menemukan kesamaan, dan merangkul mereka. Dan untuk populasi Muslim: sangat penting bahwa kita mengenal orang lain dan membantu mereka untuk memahami agama kita. Bukan bertengkar tentang hal itu dan membiarkan media menggambarkan kita," katanya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: turn to islam

STMIK AMIKOM


Pernah Membuat Karikatur Mengolok-Olok Rasulullah, Tina Stylianidou Berislam Setelah Baca Shirah Nabi
Rabu, 10 Agustus 2011 15:18 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA - Dulu, Keluarga Tina Stylianidou terkenal sebagai keluarga terpandang keturunan Yunani di Turki. Ketika pemerintah Turki memutuskan untuk menendang mayoritas warga negara Yunani keluar dari Turki dan menyita kekayaan mereka, keluarganya kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Inilah yang melandasi keluarganya sangat antipati pada Islam.

Dari sisi keluarga ibunya, mereka tinggal di sebuah pulau di Yunani yang persis berbatasan dengan Turki. Selama perang, Turki menduduki pulau dan membakar rumah-rumah mereka. Jadi mereka melarikan diri ke daratan Yunani untuk bertahan hidup. "Tak hanya benci Turki, mereka juga benci Islam," katanya.

Yunani - yang diduduki oleh Turki selama lebih 400 tahun - mengajarkan padanya untuk percaya bahwa untuk setiap kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yunani, Islam yang bertanggung jawab. Bahwa Turki adalah Muslim dan kejahatan mereka mencerminkan keyakinan agama mereka. "Jadi selama ratusan tahun kami diajarkan dalam sejarah kami dan buku-buku agama untuk membenci dan mengolok-olok Islam," tambahnya.

Di sekolah, ia mendapat pelajaran bahwa Islam sebenarnya bukan agama dan Muhammad adalah bukan seorang nabi. "Dia hanya seorang pemimpin yang sangat cerdas dan politisi yang mengumpulkan sejumlah aturan dan hukum dari orang-orang Yahudi dan Kristen, menambahkan beberapa ide sendiri dan menaklukkan dunia."

Salah satu tugas dari sekolah, adalah membuat olok-olok tentang dia dan istrinya atau sahabatnya. Ia pun mengerjakan tugas itu dan menerjemahkannya menjadi sebuah karikatur yang diacungi jempol oleh guru-gurunya. "Semua karikatur dan fitnah terhadap dirinya yang diterbitkan di media hari ini sebenarnya merupakan bagian dari kurikulum kami," katanya.

Tetapi, aku Tina, Allah melindunginya sehingga kebencian terhadap Islam, tidak masuk hatinya. Sebagai seorang remaja, dia suka membaca dan tidak benar-benar puas atau yakin dengan kekristenannya. "Saya memiliki kepercayaan pada Tuhan, rasa takut dan mencintai Dia, tetapi untuk hal-hal yang lain bingung. Saya mulai mencari-cari tapi saya tidak pernah mencari terhadap Islam, mungkin karena latar belakang saya menentangnya). Tapi pada akhirnya, Allah mengasihani jiwa saya dan menuntun saya dari kegelapan menuju cahaya kebenaran - Islam - tunduk hanya kepada Satu Allah."

Di tengah kebimbangan, ia dipertemukan dengan seorang pemuda yang telah lebih dulu memutuskan menjadi Muslim. Dari dialah, ia belajar Islam lebih dalam. termasuk, membaca secara lengkap Shirah nabawiyah, sejarah rasulullah Muhammad SAW. Belakangan, ia menerima pinangan pemuda itu dan bersyahadat.

"Menjadi seorang Muslim, saya merahasiakannya dari keluarga dan teman-teman selama bertahun-tahun. Kami tinggal bersama suami saya di Yunani berusaha mempraktikkan Islam tapi itu sangat sulit - hampir mustahil," katanya.

Di kotanya, tidak ada masjid, tidak ada akses ke studi Islam, tidak ada orang berdoa, berpuasa, atau perempuan memakai jilbab (penutup kepala Islam). Yang ada hanya beberapa imigran Muslim yang datang ke Yunani hanya demi alasan ekonomi, dan tidak begitu peduli dengan kehidupan spiritualnya. "Bahkan, mereka lebih Barat ketimbang kami yang orang Barat," katanya.

Dia dan suaminya, harus shalat buru-buru, agar tak diketahui orang. Mereka menandai kalender dengan tanda-tanda tertentu, agar sesuai dengan kalender Hijriyah; terutama Ramadhan dan Dzulhijah.

"Ketika putri saya lahir, kami memutuskan untuk bermigrasi ke sebuah negara Muslim. Kami tidak ingin membesarkannya di lingkungan di mana dia akan berjuang untuk mempertahankan identitas Muslimnya, atau bahkan lebur bersama mereka," katanya.

Sekarang, empat tahun sudah mereka tinggal di Turki. "Saya kerap merasa sangat rindu rumah, dan bertanya-tanya apakah sudah waktunya untuk kembali ke Yunani, negara yang indah dimana saya dilahirkan dan mencoba menemukan cara untuk menggabungkan identitas indah dan budaya nenek moyang Yunani serta identitas Islam saya. Tapi saya merasa bangga dan bersyukur kepada Allah bahwa saya dapat menjadi warga Yunani dan Muslim yang baik," katanya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: © Muslim Association of Greece

STMIK AMIKOM




Subhanallah... 76 Kristen Filipina Ucap Dua Kalimat Syahadat
Senin, 15 Agustus 2011 13:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI - Rodelito, seorang warga negara Filipina yang merupakan penganut Kristen, mengenakan pakaian terbaiknya untuk menyaksikan perubahan hidupnya sendiri yang telah membulatkan tekad masuk Islam. Rodelito merupakan salah satu dari 76 warga Kristen Filipina yang masuk Islam.

Peristiwa besar tersebut berlangsung dalam acara Forum Ramadhan yang digagas Departemen Pariwisata dan Bagian Pemasaran Dubai pada Sabtu (13/8) pekan lalu. Dengan nada yang agak gugup, Rodelito dengan tegas mengucap dua kalimat syahadat, yang menjadi pembuka seorang menjadi Muslim, di atas panggung.

Ia pun langsung berganti nama menjadi Omar Penalber. Tak lama, seorang penceramah Filipina menuju ke arah mikrophone dan meneriakkan 'takbir'. Mendengar ajakan tersebut, para saksi yang hadir dalam acara tersebut merespon teriakan tersebut dengan mengucap 'Allahu Akbar.'

Banyak dari para Mualaf bertanya-tanya terkait isu-isu sosial seperti kenapa seorang Muslimah harus mengenakan Jilbab. Bagi mereka yang telah memeluk Islam juga mendapat sedikit bingkisan berupa, sebuah jam yang dapat mengumandangkan adzan saat shalat lima waktu tiba, sejadah dan parfume.

Rodelito mengatakan bahwa dirinya telah berpikir panjang atas keputusannya untuk masuk Islam. "Saya merasakan sangat baik," ujarnya dengan meantap seraya menaruh tangannya di dadanya.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: www.abna.ir

STMIK AMIKOM


Lee Woon-Jae: Kiper Muslim dari Negeri Ginseng
Selasa, 28 September 2010 21:11 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nama Lee Woon-Jae mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi, tidak demikian bagi Penggemar sepakbola di Asia, terutama di negara asalnya Korea Selatan (Korsel). Lee merupakan penjaga gawang kesebelasan nasional Korsel yang pernah mengikuti beberapa kali Piala Dunia. Terakhir, dia ikut membela negaranya pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Sebelumnya, Lee pernah mengikuti Piala Dunia 1994, 2002 dan 2006. Pria kelahiran Cheongju, Chungbuk, Korea Selatan tanggal 26 April 1973 ini memang selalu dipercaya menjadi kiper nomor satu di timnas Korsel.

Karir internasional Lee dimulai ketika ia dipercaya untuk memperkuat tim nasional Korsel pada ajang Olympiade 1992 di Barcelona. Karirnya makin meroket ketika dia berhasil mementahkan tendangan penalti pemain sayap Spanyol, Joaquin, di perempat final Piala Dunia 2002. Tendangan tersebut merupakan tendangan pinalti keempat Spanyol.

Keberhasilan Lee menahan bola yang dilayangkan Joaquin ini membuat Korea Selatan lolos ke semifinal, untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola mereka. Kala itu, Korsel mengalahkan La Furia Roja 5-3 dalam drama adu pinalti, Namun, langkah tim nasional Korsel berhasil dihadang oleh Jerman di babak semifinal dengan skor 0-1.

Terpikat Islam

Namun tidak banyak yang tahu jika sosok kiper senior tim nasional Korsel yang mendapat julukan 'Si Tangan Laba-Laba' ini adalah seorang Muslim. Ya, dalam skuad tim negeri ginseng yang berlaga dalam Piala Dunia 2010 yang baru saja berakhir, Lee boleh dibilang satu-satunya pemain sepakbola Muslim.

Perihal keislaman Lee ini memang belum diketahui banyak pihak. Maklum, di Korsel mayoritas penduduknya beragama Buddha dan Kristen. Jadi, tak mengherankan, jika sosok Lee sebagai Muslim jarang diekspos. Meskipun begitu, di kalangan muslim pencinta sepakbola, Lee lumayan dikenal. Lee adalah seorang mualaf sejak tahun 2004. Jadi, ketika dia menyandang predikat Muslim sebagai pemain Korsel di Piala Dunia adalah sejak Piala Dunia 2006 di Jerman.

Perkenalan Lee dengan Islam terjadi di tahun 2004 silam. Sebelum memeluk Islam, Lee adalah penganut Kristen yang terbilang taat. Namun, perkembangan Islam yang cukup pesat di negaranya membuat dia tertarik dengan ajaran Islam. Lee pun akhirnya memutuskan menjadi Muslim. Dan, sejak saat itu ia taat menjalankan shalat dan puasa.

Saat Ramadhan tiba, Lee tetap berpuasa meski kompetisi sepakbola tengah berlangsung. Setiap harinya, Lee pun seperti biasa menjalankan shalat lima waktu dan sesekali ke masjid kalau pulang latihan atau menuju rumahnya. Lelaki berusia 37 tahun ini menikmati hari-harinya dengan tenang meskipun orang-orang di lingkungan sekitarnya kebanyakan non-Muslim.

Lee pun merasakan tolerasi beragama di tim nasional Korea Selatan dan di klubnya sehingga dia tidak merasa rikuh dengan predikat Muslim yang disandangnya.

Pensiun

Sepanjang karirnya, Lee tercatat sudah mengikuti empat Piala Dunia, dan ini membuat namanya masuk dalam dafrtar salah satu dari tujuh pemain Asia yang pernah bermain di empat Piala Dunia yang berbeda. Namun, pada ajang Piala Dunia 2010 lalu ia hanya menjadi pemain cadangan. Pelatih kepala Korsel Huh Jung-moo lebih memercayakan posisi kiper nomor satu kepada Jung Sung-ryong.

Posisinya yang hanya menjadi pemanas bangku cadangan selama Piala Dunia 2010 lalu ini agaknya yang membuat Lee akhirnya memutuskan untuk pensiun sebagai pemain nasional. Pertandingan persahabatan melawan Nigeria pada 11 Agustus 2010 lalu dengan kemenangan 2-1 menjadi penampilan Lee yang terakhir di tim nasional Korea Selatan. Lee telah menjadi bagian dari skuad Ksatria Taeguk dalam 130 pertandingan sejak 1994.


Redaktur: Budi Raharjo
Reporter: Nidia Zuraya

STMIK AMIKOM



Cindy Claudia Harahap: Hidayah dari Bulan dan Bintang
Rabu, 06 Oktober 2010 23:12 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki. Begitulah yang terjadi pada diri Cindy Claudia Harahap, putri sulung dari musisi Rinto Harahap. Saat usia belasan tahun, hidup Cindy terombang-ambing di tengah-tengah keluarga Muslim dan non-Muslim. Keluarga ayahnya non-Muslim, sementara keluarga dari ibu beragama Islam.

Hingga suatu saat, sekitar tahun 1991, penyanyi kelahiran Jakarta pada 5 April 1975 ini, sedang tidur-tiduran di tengah malam di atas rumput halaman asrama di Australia. Saat itu, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis Indonesia, Tamara Blezinsky, sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College. Setiap hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia.

Mereka juga mempunyai kondisi yang sama tentang orang tua. Suatu malam Cindy benar-benar diperlihatkan keagungan Allah. Ketika memandang ke langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan bintang yang indah sekali. ''Saya bilang sama Tamara, kayaknya saya pernah lihat ini di mana ya, kok bagus banget. Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?'', kenang penyanyi dan pencipta lagu ini.

Tamara lantas menjawab kalau itu lambang masjid. ''Jangan-jangan ini petunjuk ya, kalau kita harus ke masjid,'' tukas Cindy selanjutnya. Ia memang jarang sekali melihat masjid selama di Australia. Mungkin karena dalam dirinya sudah mengalir 'Islam' dari darah ibunya, hal itu membuat Cindy tak perlu membutuhkan proses yang panjang untuk mengenal Islam. Cindy pun berfikir untuk masuk Islam sekaligus mengajak sahabatnya, Tamara. ''Suatu hari saya terpanggil untuk memeluk agama Islam,'' kata sulung tiga bersaudara.

Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara pun lama berpisah. Saat kemudian bertemu lagi di Jakarta, ternyata mereka sudah sama-sama menjadi mualaf. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan, inti dirinya masuk Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Karena, orang memeluk agama itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung diri masing-masing.

Selain dari diri sendiri adakah pihak lain yang ikut membuatnya jatuh cinta kepada Islam? Cindy mengatakan, selain mamanya juga Mas Thoriq (Thoriq Eben Mahmud, suaminya). Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari Thoriq, laki-laki keturunan Mesir. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan bijaksana dan kesabaran. Menurut Cindy, Thoriq tidak pernah memaksanya, bahkan dia sering membelikan buku-buku tentang Islam.

''Terkadang seperti anak TK, dibelikan juga buku cerita yang bergambar. Tapi justru jadi tertarik, sampai akhirnya saya dibelikan Alquran dan benar-benar saya baca apa artinya,'' tutur artis yang menikah 4 juli 1998. Cindy melisankan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta. ''Di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di mushalla kecil sekolah itu, saya mulai memeluk Islam,'' katanya.

Dalam proses mempelajari Islam, istri mantan pilot Sempati ini mengakui tidak menghadapi banyak kendala yang berarti, cuma memang harus menyesuaikan diri. Cindy sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa. Keluarganya sangat toleran terhadap perbedaan agama karena pada dasarnya semua agama itu sama, mengajarkan yang baik dan hanya caranya yang berbeda-beda. ''Papa pernah bilang apapun agama yang saya putuskan untuk dianut itu terserah,'' tuturnya. ''Yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.''

Sebelum menjadi mualaf, Cindy sempat berfikir menjadi Muslimah sepertinya repot sekali. Kalau mau masuk masjid untuk shalat, misalnya, harus wudhu dan harus pakai mukena dulu. ''Mau shalat saja harus repot. Apalagi ada bulan Ramadhan yang harus puasa. Saya sempat berfikir kalau Islam agama yang repot,'' ujarnya.

Namun, setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari itulah kelebihan Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih. Bersih jiwa dan bersih diri,'' tuturnya. ''Alangkah bahagianya kita sebagai umat Islam dikasih bulan Ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk membenahi diri. Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan.''

Cindy mengisahkan, beberapa bulan setelah menikah diberi hadiah pernikahan oleh mertua berupa umrah bersama suami. Ia merasa sangat berkesan saat pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya bisa menyaksikan melalui televisi atau gambar saja. Waktu itu, dia berangkat umrah bulan Ramadhan dan ia pun sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa di sana yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun.''

Redaktur: Budi Raharjo
Reporter: Berbagai sumber

STMIK AMIKOM


Elizabeth Pilih Islam setelah Delapan Kerabatnya Jadi Korban Tragedi 11/9
Minggu, 16 Januari 2011 23:42 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Ia masih kerap dipanggil dengan nama lahirnya, Elizabeth. Walau kini, ia telah mengganti semua dokumen resminya menjadi Safia Al-Kasaby, identitas barunya setelah menjadi seorang Muslimah.

Berita dia berpindah agama sempat menuai kontroversi di Amerika Serikat. Maklumnya, banyak hal yang tak nyambung mengapa kemudian dia menjatuhkan pilihan keyakinannya pada Islam.

Tak nyambung? Ya. Safia, 43 tahun, adalah keturunan Yahudi dan Puerto Rico. Kakeknya adalah korban Holocaust yang kemudian melarikan diri ke Puerto Rico. Mereka bersembunyi di sebuah rumah ibadah.

Dia juga mantan sersan pertama dalam Angkatan Udara AS. Dan, ini dia, Safia kehilangan delapan kerabat - satu paman dan tujuh sepupunya - dalam serangan 11 September yang mendudukkan Muslim sebagai "tersangka" pada 2001.

Namun bagi Safia, semua sambung-menyambung. Justru setelah duka Tragedi 11 September, ia mencari tahu tentang Islam. Dalam dirinya tumbuh keyakinan semakin Islam disudutkan di AS, ia merasa adalah yang salah di sana.

"Saya tidak peduli siapa yang melakukannya," ujarnya. "Saya hanya peduli kenapa Islam tiba-tiba dibenci. Saya tidak pernah membenci Islam, atau membenci Muslim. Bagi saya untuk marah tentang apa yang terjadi pada menara kembar akan menjadi seperti saya membenci semua orang Jerman yang menewaskan orang-orang Yahudi."

Semakin ia melahap buku-buku tentang Islam, semakin ia jatuh hati pada agama yang disiarkan oleh manusia agung, Muhammad SAW. Ia makin gelisah. Akhirnya timbul keberanian, tahun 2005 atau empat tahun setelah tragedi yang merengut keluarganya itu, ia bersyahadat.

Seperti Muslim lainnya, Safia merasa ketegangan di sekelilingnya: tatapan penasaran karena dia mengenakan jilbab atau kerudung dan penjaga toko yang tiba-tiba meminta identifikasi tambahan tiap kali ia pergi ke pusat perbelanjaan.

Bahkan pejabat di Kedutaan Besar AS di Kairo menolak permintaan awal dari calon suaminya, seorang pria asal Mesir, untuk visa sementara. Safia dianggap punya agenda tersembunyi lain dengan menikahi pria Mesir.

Agama barunya juga telah memperluas jurang antara dia dan keluarganya. Ibunya, tiga saudara perempuan dan salah satu putrinya, Sylvia, mempertanyakan pilihannya.

Sylvia bahkan ingin tak ada hubungannya dengan dia. Sylvia memarahi Safia habis-habisan ketika dia muncul di pemakaman suaminya mengenakan jilbab dan membawa Alquran.

Namun ia beruntung, satu anaknya yang lain, Natalia, mendukung pilihannya. "Agama yang dipilih mama sungguh cool," ujarnya.

Gadis 18 tahun ini menghargai transformasi keyakinan Safia. Ia kerap tidak tahan dengan orang-orang yang mengolok-olok Islam atau stereotip Muslim. "Saya berkata," Tunggu sebentar. ibu saya seorang Muslim," ujarnya menirukan kalau dia memotong pembicaraan rekan-rekannya. "Dan dia bukan teroris."

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: sptimes

STMIK AMIKOM


Di Depan Akademisi Cambridge, Mantan Pastor Itu Berkisah Kenapa Pilih Islam
Kamis, 17 Pebruari 2011 15:54 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, "Bukan saya yang mencari Islam, Islam yang menemukan saya," kata Idris Tawfiq. Ia berbicara di depan akademisi dan keluarga besar universitas papan atas Inggris, Cambridge. Di perguruan tinggi ini tengah dihajat acara tahunan Experience Islam Week, acara untuk pengenalan Islam dan toleransi.

Ia mengaku, tak ada masalah dengan masa lalunya. "Saya mencintai pekerjaan dan masa lalu saya, namun hati saya seperti dipandu memilih Islam," katanya. "Setelah menjadi Muslim, saya menemukan kedamaian yang tak pernah saya temukan sebelumnya."

Menurutnya, keputusannya memilih Islam adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Ia masih melakukan pelayanan, ketika kemudian hatinya berbicara lain. Sampai suatu saat, timbul keberanian untuk menyatakan behenti dan mundur. "Saya merasa sendiri setelah itu," katanya.

Pertama kali, ia menyatakan berhenti menjadi pastor. Namun, ia tetap memegang kayakinan lamanya, sambil terus belajar Islam. "Saya tidak bermaksud mengubah iman saya itu bukan bagian dari rencana saya sama sekali," katanya.

Ia menyatakan, tinggal dan besar di Inggris selama 40 tahun, ia punya pandangan stereotip tentang Muslim. Tapi saat liburan di Mesir, ia bertemu dan berteman dengan banyak orang Muslim, dan mengatakan bahwa ia mulai menyadari persepsi tentang keyakinan Islam. "Keyakinan lama saya perlahan luntur, dan Islam menjadi lebih menarik perhatian saya," katanya.

Menurutnya, ajaran Islam sebenarnya sangat indah. "tak benar Islam mengajarkan kekerasan. "Jika Anda menyelami ajaran Islam, Anda akan menemukan ajaran agama ini benar-benar sangat indah, sangat lembut, dan manis," katanya.

Ia menyarankan satu hal bagi mereka yang tengah belajar Islam. "Sebelum Anda membuah keputusan, tarik nafas dalam-dalam dan dengarkan apa kata Islam. Kemudian, penahi pola pikir Anda," katanya.

Saat ini, Tawfiq memutuskan untuk tinggal di Mesir. Ia mengaku tak gamang dengan perubahan politik di negeri itu. "Satu hal yang diajarkan Islam adalah, jangan pernah terkejut dengan apapun yang datang dalam kehidupan kita. Di Mesir, semua terbukti. Siapa yang menduga hanya dalam tiga pekan tiran yang 30 tahun lebih berkuasa bisa tumbang," katanya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Cambridge News/BBC

STMIK AMIKOM


Alhamdulillah! Satu keluarga di Cina Memeluk Islam
Senin, 28 Pebruari 2011 20:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, TUTONG - Seorang perempuan Cina dan empat anaknya memeluk Islam sebagai sebuah jalan hidupnya yang baru. Perayaan memeluk Islam dilakukan oleh Departemen Dakwah Tutong di Kampung Keriam, di Distrik Tutong.

Tamu kehormatan dalam acara tersebut adalah Haji Harun bin Haji Junid yang merupakan Wakil Sekretaris Tetap di Kementerian Agama Cina. Acara dimulai dengan pembacaan surat Al Fatihah yang kemudian diikuti dengan upacara memeluk Islam.

Yong Siow Mee, membacakan doa dengan dibimbing staf dari Kementerian Agama Cina dan kemudian memilih nama Muslim barunya sebagai Nur Ameerah Raziqin binti Abdullah Yong. Sementara empat anak-anaknya yang juga berganti nama Nurhafizah binti Bakar, Nurshahnizam bin Bakar, Nurhalizam bin Bakar dan Nurazlizam bin Bakar, tak lupa berdoa dan memilih nama mereka sendiri Muslim.

Acara ini juga memperlihatkan penampilan Dzikir Marhaban yang dibawakan anggota Asosiasi PESATU yang diikuti dengan percikan bunga yang wangi kepada Yong Siow Mee dan keempat anaknya oleh tamu kehormatan. Doa selamat dibacakan oleh Imam Haji Abd Aziz bin Badul. Pejabat dan staf Pusat Dakwah Islam dan penduduk desa setempat juga ikut hadir.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: www.abna.ir

STMIK AMIKOM

Semula dari Forum Penghujat Islam, Kini Ia Gabung Grup Mualaf, Facebook
Rabu, 16 Maret 2011 15:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bertahun-tahun yang lalu, William Junaedi menganggap semua agama sama, yang membedakan hanyalah nama-nama Nabi sebagai utusan Tuhan. Namun kelak, pandangan itu berubah sepenuhnya ketika ia mulai bergaul dengan internet.

Pada tahun 2008, lelaki berdarah Cina-Betawi itu berhenti dari tempat kerjanya. Ia membeli sebuah komputer dan melanggan internet.

"Ketika sedang menganggur, sehari-hari saya hanya bermain internet. Browsing sana-sini, mencari tahu segala hal yang belum saya ketahui," tutur Wiliam.

Hingga suatu hari ia menemukan satu laman yaitu forum kumpulan orang non-Muslim. Dalam forum itu, mereka menjelek-jelekan agama Islam.

Beberapa minggu William aktif memantau forum tersebut. Isinya hanyalah hujatan dan caci maki terhadap agama Islam. Penghuni forum itu menampilkan diri seolah-olah mengetahui dan paham betul mengenai sejarah Islam, Al-quran beserta hadist yang menurut mereka sangat tidak masuk akal.

Ketika membaca postingan penuh hujatan terhadap Islam, William menggeleng-gelengkan kepala. "Apa benar yang mereka bicarakan? Saya pun menjadi semakin penasaran ingin mengetahui kebenarannya.” lanjut pria berusia 29 tahun itu.

Akal sehat William tak bisa menerima komentar-komentar kasar dari anggota forum yang ia nilai sangat mengintimidasi dan melecehkan. William pun melakukan pencarian. Saat itu ia mendapat info alamat email sebuah live chat perdebatan mengenai Islam. Ternyata di sana jauh lebih parah.

Salah satu admin live chat, tutur William, mengatakan mereka telah menemukan satu hadist yang menceritakan bahwa Nabi dulu pernah melakukan perbuatan asusila terhadap Abu Sofyan saat masih kecil, "Disebutkan pula bahwa Nabi pernah tidur dengan mayat. Kami memperdebatkan itu semua," kata si bungsu dari 5 bersaudara ini.

Satu tahun lebih William mengikuti debat di live chat. Berbarengan dengan itu, toko milik kakaknya bangkrut. William beserta keluarga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Berbeda saat memantau forum non-Muslim, kali ini kata-kata di live-chat itu merasuk ke hatinya.

Ketika pindah ke Jakarta, William berada dalam fase ‘kebencian tingkat tinggi’ terhadap Islam. Sampai-sampai ia selalu berdebat dengan kakak iparnya yang Muslim.

“Setiap hari saya mendebat kakak ipar saya, mengapa Islam begini? Mengapa Islam begitu?. Kakak ipar William, menurut dia, sampai terlihat dilema dan kesulitan dengan kelakuannya yang selalu mendebatnya tiada henti.

Namun William berhenti juga mendebatkan Islam dan memilih memelajari Kristen yang sudah lama ia anut. Ia berharap dengan mengetahui Kristen lebih dalam ia dapat menemukan jawaban atas semua kebenaran Tuhan. Tetapi, William mengaku tak mendapat apapun.

“Awalnya saya ingin memperdalam ilmu agama saya, tetapi apa yang saya peroleh? Semua nihil. Saya tidak mendapat jawaban yang masuk akal dari agama saya sebelumnya," ujar William. "Saat membaca alkitab saya hanya merasa seperti membaca novel, tidak ada yang spesial” ungkap William.

Kebimbangan dengan agamanya justru mendorong William mencari tahu Islam lebih lanjut. Dj sisi lain ia juga tertarik dengan Muslimah berjilbab dan mengunduh foto-foto wanita berkerudung serta menyimpannya dalam satu folder. Keisengannya itu ternyata diketahui oleh kakak iparnya.

“Saat itu kakak ipar saya bongkar-bongkar komputer, dia menemukan folder koleksi foto wanita berkerudung yang saya miliki," tutur William. Kontan kakak ipar William pun menanyakan perihal itu kepadanya. "Tapi saat itu saya membantahnya," kenang William

Ketika mengingat forum ‘non-Muslim’, William terbersit untuk mencari forum Muslim. Ia menemukan satu chatt room khusus pemeluk Islam, bernama ‘café Islam’. Di dalam forum itu ia banyak bertanya mengenai agama Islam. Hingga William memutuskan bertemu salah satu anggota chatt room untuk berbagi langsung.

“Berbeda dengan forum non-Muslim yang saya temukan sebelumnya, di ‘café Islam’ tidak ada makian kasar untuk agama non-muslim” cerita William

Pertemuan William dengan salah satu anggota ‘café Islam’ membuatnya terkesan. Anggota itu juga memberikan sebuah buku kepada William, berjudul “Saksikan Aku Sebagai Muslim”.

“Saya senang dengan pertemuan itu, berbincang dengan orang Islam yang membuat saya semakin tertarik dengan Islam," akunya "Ditambah lagi, dia memberikan saya buku. Walaupun pada saat itu saya kebingungan menyimpannya. Karena takut ketahuan orang di rumah” tutur William.

Usai pertemuan itu William kian intens mendalami Islam, hingga muncul keinginan untuk memeluk Islam. Dorongan itu kian kuat ketika ia--yang mulai sering melamun di atas rumahnya--mendengar suara orang mengaji. Di kuping William, suara itu terdengar merdu. Saat itu pula terbesit di benak William untuk berdoa kepada Allah.

“Suara lantunan ayat Al Qur'an itu terdengar sangat berirama dan enak sekali di dengarnya," ungkap William. Ia tak pernah mendengar semacam itu di agamanya." Saya pun langsung berdoa dalam hati ‘ya Tuhan, kalau memang ini Agama yang benar dan merupakan karuniamu tolong dekatkan aku dengan Islam, jika bukan maka jauhkanlah” kenang William

Beberapa waktu setelah itu, William membuat sebuah akun Facebook, di sana ia bergabung dengan group ‘Mualaf Indonesia’. Lagi-lagi ia banyak menanyakan mengenai Islam dan mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam

“Awalnya saya berpikir, lucu juga kalau muka Cina seperti saya pakai kopiah. Tapi ternyata di Mualaf Indonesia banyak orang-orang seperti saya (Cina-red) dan mereka memeluk Islam. Saya jadi tak merasa asing,” tuturnya

Keinginan William masuk Islam mendapat sambutan hangat dari anggota grup Mualaf Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 13 September 2009, William di-Islamkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan melakukan khitan pada 5 November 2009.

Resmi menjadi Muslim, William menceritakan keputusan besar itu kepada orang tua. Saat itu, ibu William marah besar dan mogok bicara dengan William. Sementara ayahnya lebih membebaskan William memilih.

“Mama tidak mau bicara sama saya, terlihat sekali kalau mama kecewa," tutur William. Ayahnya tidak melarang, karena ayah William rupanya pernah menjadi seorang muslim. "Tetapi lantaran tidak ada yang membimbingnya akhirnya ia menjadi murtad” kata William

William mengaku berat ketika keputusannya tidak disetujui oleh sang ibu. Tapi William tak berputus asa. Saat hubungan dengan ibunya menegang, William mengambil wudhu dan berdoa kepada Allah agar membukakan pintu hati ibunya.

Doa yang dipanjatkan William ternyata dijabahi Allah. Hanya dua hari berselang, ibunya tak sanggup lagi mogok bicara dengannya. Akhirnya ibu dan anak itu pun berbicara dari hati ke hati dan ibunya pun menerima keputusan William.

“Setelah mama bisa menerima saya sebagai seorang muslim saya menjadi lega, meski banyak teman-teman saya yang juga keturunan Cina mengucilkan dan memutuskan silaturahmi dengan saya.” ujar William Walaupun ada yang tak menyukai keputusan William, tak lantas mengendurkan semangatnya untuk mempelajari Islam.

Setelah memeluk agama Islam, William kian merasakan kedekatan Allah terhadap dirinya. Ia mengaku menjadi Muslim itu nikmat. “Yang paling luar biasa, ketika shalat berjamaah dimasjid. Semua orang Muslim, mulai pedagang, pegawai bahkan pejabatpun shalat berdampingan tanpa ada perbedaan,” ujar William

Tak lama setelah ia menjadi Muslim, ia merasa kian mendapat banyak berkah. William mendapat panggilan kerja di salah satu SMA Negeri di Jakarta sebagai guru bahasa Inggris.

“Memang Allah tak pernah tidur, ia akan menolong setiap umatnya yang membutuhkannya. Kita hanya perlu berdoa dan bersabar. Sama seperti saya yang harus berdoa dan bersabar demi menemukan agama yang benar” tuturnya.

Saat ini William terus mempelajari Islam. Ditemani salah satu rekan kerjanya, William aktif mengikuti kegiatan pengajian yang ada di masjid-masjid.




Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Mg12

STMIK AMIKOM

Albumnya Laku 7 Juta Copy, Rapper Loon Malah Masuk Islam
Jumat, 18 Maret 2011 07:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES - Di Amerika Serikat, nama Bad Boy Records amatlah kesohor sebagai label rekaman yang mengusung aliran musik rap. Salah satu penyanyi yang pernah bernaung di bawah payung label ini adalah Loon. Loon sendiri merupakan nama panggung yang digunakan oleh penyanyi yang memiliki nama asli Chauncey Lamont Hawkins ini.

Bersama dengan pemilik Bad Boy Records yang juga rapper Amerika, Sean John "Diddy" Combs, dan penyanyi Usher, Loon berkolaborasi membawakan single berjudul I Need a Girl di tahun 2002. Dan, dalam waktu singkat single yang menjadi lagu pertama dalam album bertajuk We Invited The Remix itu langsung menduduki posisi keempat tangga lagu Billboard Hot 100.

Sejak saat itu karir Loon sebagai seorang musisi rap mulai berkibar. Ketenaran dan pundi-pundi uang pun ia raih dengan mudah. Namun, ungkap Loon, dirinya tidak pernah merasakan kepuasaan pribadi meskipun menikmati puncak kehidupan materi, kesejahteraan, sukses dan ketenaran. Seberapa keras ia berupaya, ia mengaku tak merasakan kedamaian di dalam dirinya.

Hal ini pula yang pada akhirnya mendorong rapper kelahiran Harlem, New York, 20 Juni 1975 ini untuk menemukan kebahagiaan dalam Islam. Mengutip laman voa-Islam, Loon memutuskan untuk masuk Islam setelah kumpulan lagu terakhirnya terjual 7 juta copy. Sepanjang karir bermusiknya Loon telah merilis tiga album, masing-masing bertajuk Loon (dirilis Oktober 2003), No Friends (Agustus 2006), dan Wizard of Harlem (Oktober 2006).

Selain itu ia juga telah merilis tiga belas single yang merupakan hasil kolaborasi dengan sejumlah penyanyi di negeri Paman Sam. Di antara singlenya tersebut adalah: I Need A Girl yang dinyanyikannya bersama Sean John "Diddy" Combs dan Usher; Hit The Freeway yang dinyanyikan bersama dengan Toni Braxton; dan Show Me Your Soul yang dibawakannya bersama dengan Sean "Diddy" Combs, Lenny Kravitz dan Pharrell.

Setelah memeluk Islam, ia pun merubah namanya menjadi Amir Junaid Muhadith. ''Loon bekerja di luar sistem diri saya,'' ujarnya mengenang sosoknya saat menyandang nama Loon ketika bergabung dengan Bad Boy Records. ''Kini saya bahagia menerima Islam dan menemukan kedamaian dalam hati, sesuatu yang selalui saya cari dalam bisnis musik. Terima kasih kepada Islam, sehingga saya mampu melengkapi pencarian dan kini saya sangat merasa damai. Bad Boys sudah usai. Saya kini dapat anda panggil "good boy"," paparnya dalam suatu kesempatan wawancara dengan stasiun TV Al Jazeera.

Amir menemukan cahaya Islam dua tahun lalu, tepatnya pada Desember 2008 silam ketika melakukan tur di Dubai, Uni Emirat Arab. Selama berada di Dubai, ia dibuat terkagum-kagum dengan budaya kaum Muslimin di sana. Ketika di Dubai, menurut Amir, dia mendengar lantunan adzan dan melihat orang-orang bergerak menuju masjid-masjid yang terdekat untuk menunaikan shalat. ''Mereka terlihat berakhlak mulia dan berinteraksi dengan baik dengan siapa saja,'' ujarnya.

Saat itu, sambung Amir, timbul pertanyaan dalam benaknya tentang hakikat agama mereka (Islam). Apakah Islam itu hanya khusus diperuntukkan untuk bangsa Arab, atau untuk semua manusia? Sampai akhirnya ia mendapat jawaban yang konprehensif bahwa Islam itu adalah agama untuk semua manusia, tanpa membedakan keturunan, suku dan bangsa.

Setelah berfikir mendalam, Loon pun memutuskaan untuk menerima Islam sebagai keyakinan barunya. Sejak saat itu ia berubah total. ''Saya tinggalkan dunia musik secara total. Saya keluar total dari komunitas di mana saya habiskan hidup saya sebelumnya selama 17 tahun. Sekarang saya merasakan ketenangan batin yang sejak lama saya rindukan. Saya merasa bertambah tenang lagi setelah isteri dan anak saya juga masuk Islam,'' paparnya.

Mengajak orang masuk Islam

Sebelum memeluk Islam, Loon adalah seorang penganut Kristen. Kisah hidupnya dimulai dari tumbuh besar di lingkungan terisolir (ghetto) khusus kulit hitam di Harlem, New York. Ia kemudian menjadi anggota geng jalanan hingga membentuk grup musik bergenre rap dan hip hop, dan akhirnya menemukan cahaya Islam.

Kabar bahwa ia masuk Islam pun mendapat slot khusus dalam tayangan Al Jazeera, satu-satunya stasiun jaringan berita independen di Timur Tengah. Dalam pernyataan publiknya, Loon mengatakan kedamaian dari dalam hanya bisa diperoleh dengan menyerahkan diri kepada satu tuhan. ''Hidup untuk sesudah mati, bukan untuk kehidupan saat ini, adalah kepuasan dalam meyakini, memuja dan memohon kepada Allah,'' ujarnya. "Itulah mengapa saya mempraktekkan agama Islam yang indah.''

Ketika akhirnya memeluk Islam, sempat muncul pertanyaan apakah Loon masih akan mengejar karir sebagai penyanyi rap? ''Saat ini saya fokus mempelajari Islam dan memperluas pengetahuan tentang cara hidup Islam,'' ujarnya. "Berada di posisi yang mempengaruhi, saya pertama-tama harus mampu melindungi diri sendiri,'' ujarnya.

Setelah menjadi mualaf, semangat Loon untuk belajar dan mengenal Islam lebih mendalam semakin bertambah, karena dalam dirinya tertanam niat dan tekad untuk mengajak orang lain kembali kepada Islam. Untuk merealisasikan tekadnya ini, Loon kemudian memilih untuk bergabung dengan lembaga dakwah Islam Kanada, bidang penyebaran Islam. ''Saya memiliki program khusus terkait masalah tersebut, yakni mengajak para penyanyi dan seniman top dunia untuk mengenal Islam dan prinsip-prinsipnya.''

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Nidia Zuraya
Sumber: Al Jazeera

STMIK AMIKOM


Saat Jauhi Islam, Ratna Novita Menyadari Keinginannya Jadi Muslim
Senin, 28 Maret 2011 17:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski dibesarkan dalam keluarga Budha, sejak kecil, orang tua Ratna Novita, 32 tahun, tidak pernah memaksa atau melarangnya untuk menganut agama tertentu. "Intinya kami sendiri yang mencari agama itu," ungkap Ratna

Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.

Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.

Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.

“Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam” ujar Ratna

Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.

Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.

Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.

“Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.

"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja” tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.

Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.

Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. “Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.

Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.

Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. “Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.

Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru,” tutur Ratna

“Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia” ujar Ratna. ”Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.

Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.

"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita” ujarnya.

Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. “Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka.”

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Mg12

STMIK AMIKOM


Salah Satu Hidayah Ahui, Mimpi Beradzan di Atas Kabah
Rabu, 30 Maret 2011 08:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Petunjuk Allah bisa datang dari mana saja. Khusus bagi Ahui, hidayah itu ia peroleh dari serangkaian mimpi.

Pada usia 39, adalah awal pria keturunan Tionghoa itu mengalami serangkaian peristiwa yang akhirnya membawanya ke Islam. Saat itu ia bermimpi memasuki sebuah gedung dan mengaji di dalam gedung tersebut. Tapi ia tak memandang mimpi itu istimewa. Ahui tidak tergelitik. "Saya tidak tahu mengapa bisa mendapat mimpi itu, jadi saya abaikan saja," katanya.

Selang satu bulan, Ahui kembali bermimpi. Kali ini ia menyuarakan adzan di atas kabah. Seperti mimpi pertama, ia juga tak menghiraukanya. Lagi-lagi, berjarak satu bulan dari mimpi kedua, dalam tidurnya, Ahui melihat dirinya berwudhu dan mengucapkan kalimat syahadat.

Hingga mimpi ketiga, pikiran Ahui tetap tidak terusik. Ia masih menanggap semuanya sekedar kembang tidur.

Ketika mimpi-mimpi itu datang, Ahui tengah mencoba peruntungan dalam wirausaha yang ia rintis sejak muda. Bukan mendapat untung, ia merugi hingga bangkrut. Semua harta bendanya habis dan kondisi Ahui saat itu, tuturnya, sangat menyedihkan.

Pada tahun berikut, tepatnya 1998, Istri Ahui sakit keras. Ia divonis mengidap penyakit kanker stadium 4. Selang beberapa bulan, istrinya pun meninggal.

Sebelum jatuh sakit, rupanya istri Ahui pernah pula bermimpi membawa Al Qur'an lalu kitab itu terjatuh. "Dalam mimpinya, istri saya memasuki sebuah Masjid mengikuti sebuah pengajian. Setelah keluar dari masjid itu istri saya mendapat hadiah sebuah Al-Quran. Ketika membawa Al-Quran tersebut istri saya tersnggol oleh seseorang dan Al-Quran itu jatuh hingga terbelah menjadi dua”, tuturnya.

Ahui tak bisa lagi mengabaikan rentetan peristiwa yang ia alami. Ia mencoba mengaitkan satu demi satu kejadian tersebut. Ahui sempat kebingungan, mengapa di saat kehilangan semua harta dan orang kesayangannya, ia malah mendapatkan mimpi-mimpi yang berkaitan dengan Islam.

“Saat saya mengalami kebangkrutan saya bermimpi mengenai Islam, ketika Istri saya meninggal, isti saya juga mengalami mimpi yang berkaitan dengan Islam. Saya sendiri waktu itu tidak tahu apa itu Islam”, ungkapnya.

Ahui memang tidak pernah mengenal agama dan memeluk agama sejak ia dilahirkan. Keluarganya pun setali tiga uang. Tapi, sebagai persyaratan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Ahui mencatumkan agama Budha. Begitupun dengan keluarganya. “KTP kan harus ada agamanya, ya udah saya cantumkan saja agama Budha," kata Ahui.

Karena hanya agama KTP, ia pun mengaku tak pernah mengerti dan tahu bagaimana cara beribadah umat Budha. Ahui hanya mengikuti gerakan dan ritual yang dilakukan oleh umat Budha. “Saya melihatat orang membakar dupa, ya saya ikut bakar duha, orang berdoa ya saya ikut berdoa, padahal saya tak tahu bagaimana bacaan doanya”, aku Ahui.

Akhirnya Ahui terdorong untuk mencari tahu tentang Islam. Ia mendatangai ustad dan melakukan diskusi tentang Islam. Bahkan ia mendatangi pula beberapa orang yang ahli agama. Ia juga membaca sedikit-sedikit buku mengenai islam.

Setelah kurang lebih tiga tahun ia mencari tahu tentang Islam, Ahui memutuskan untuk memeluk agama tersebut pada akhir Febuari tahun 2001. Dari sinilah ia mulai menyusun hidup barunya.

Setelah masuk Islam, Ahui mengubah namanya menjadi Muhamad Abdul Ahui. Keputusannya memeluk Islam tak mendapat pertentangan dari keluarga. Sebaliknya, ia malah disambut baik, terutama oleh ibundanya. Ibu Ahui merasa bangga dengan anaknya yang telah memiliki agama dan berubah menjadi lebih baik setelah beragama Islam.

“Mendiang mama saya sangat bangga dengan keputusan saya memeluk agama Islam, mama saya merasa anaknya ini telah mengalami banyak perubahan yang lebih baik” ujarnya. Ahui yang mengaku sebelumnya memiliki sikap buruk seperti urakan, pemarah, tidak sabar berangsur-angsur berubah setelah memeluk islam.

“Temperamen saya yang sulit dikontrol, emosi dan gampang marah mulai bisa saya kendalikan," tuturnya. Ahui yang sempat benar-benar terpuruk akibat bangkrut, mencoba membuka usaha kembali.

Kini ia berdagang mie ayam di depan Masjid Lautze. Lokasi usahanya yang berada di depan masjid Lautze, membuat Ahui terbiasa mendengar surat-surat pendek dalam bacaan shalat.

Dari sanalah Ahui mulai mengenal bacaan shalat. Masih belum jauh dari mimpi, Ahu mengaku juga mengetahui sebagian bacaan shalat seperti Al-Fatihah dari mimpinya terdahulu. Ahui merasa mimpinya itu sangat nyata sehingga ia masih mengingat bacaan shalat dari mimpi tersebut.

“Lucu memang kalau tahu bagaimana saya bisa tahu bacaan shalat, saya tahu dan mengerti bacaan sahalat ya awalnya dari mimpi saya. Saya juga tidak mengerti kenapa mimpi saya itu bisa seperti benar terjadi di dunia nyata, mungkin itu hidayah untuk saya” ujarnya.

Tak ada kendala dari luar, tantangan terbesar Ahui setelah memeluk Islam justru datang dari dirinya. Ia mengaku masih berat untuk disiplin melaksanakan shalat 5 waktu. Sejak awal masuk Islam shalatnya masih bolong-bolong tak tepat waktu. Ahui hanya rutin melaksankan shalat Isya sementara untuk shalat lainnya masih terbengkalai.

Namun keinginannya untuk sunguh-sungguh memelajari Islam membuat memotivasinya untuk memperbaiki ibadah shalatnya. Akhirnya di tahun 2004 ia mulai rutin melaksanakan shalat 5 waktu. Pertama kali ia menunaikan shalat 5 waktu, ia merasa semua beban di kepalanya hilang. “Pikiran saya tenang seusai melaksanakan shalat 5 waktu. Saya merasakan kedamain dan kenikmatan hati”, ungkapnya.

Ahui tak hanya belajar dan menggali ilmu mengenai Islam untuk dirinya saja. Ahui juga berbagi ilmu dengan para mualaf yang baru masuk Islam. “Saya juga senang bila bisa berbagi kepada sesama mualaf yang ingin tahu mengenai Islam”, ucapnya.

Meski sudah sepuluh tahun Ahui memeluk agama Islam, ia merasa masih ingin terus menggali tentang ilmu islam hingga akhir hayatnya nanti. Ahui juga meyakini bahwa Islam merupakan ajaran terbaik di semesta alam ini. “Islam merupakan ajaran agama terbaik di semesta alam ini, hal ini tak bisa dipungkiri dan di bantah”, pungkasnya.


Mualaf Yusuf Burke : Pakar Teknik AS Ini Berislam di Indonesia
Selasa, 27 Desember 2011 06:35 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Yusuf Burke dibesarkan di New York. Sebagian besar hidupnya ia jalani sebagai penganut Katholik, mulai dari sekolah Katholik hingga universitas. Namun, saat itu ia pun sudah memahami sedikit tentang Islam.

"Ayah saya dulu sempat bepergian ke Malaysia beberapa kali, jadi ia memiliki teman-teman Muslim," tuturnya. Kadang keluarga Yusuf menerima mereka sebagai tamu.

Yusuf selalu memiliki ketertarikan untuk melihat dunia luar, menyaksikan keragaman budaya, begitu pula perbedaan agama. Rasa ingin tahunya itu pun yang membuat ia mempelajari sedikit dasar-dasar Islam saat memeluk Katholik.

"Saat itu saya bersiap mengambil mata kuliah agama dan saya mengenal dasar-dasar Islam. Namun saya tidak benar-benar paham banyak hingga saya pergi ke Indonesia," ungkapya. "Saat itu adalah kali pertama saya pindah dan tinggal di negara bermayoritas Muslim," akunya.

Yusuf belajar kelistrikan di bangku kuliah dan 2 tahun setelah itu ia keluar lalu bergabung bersama tim energi dari General Electric sebagai ahli teknis lapangan. Ia pun mulai kerap bepergian ke luar negeri untuk mengerjakan proyek-proyek tenaga dan membangun pembangkit listrik.

Saat pertama kali ke Indonesia pada 1994, ia pun pergi dalam rangka mengerjakan proyek pendirian pembangkit listrik. Di Indonesia ia mengaku menikmati bertemu dengan orang-orang lokal. "Mereka adalah orang-orang yang sangat ramah dan sangat terbuka serta antusias untuk terlibat obrolan dengan anda karena anda berbeda," katanya menuturkan pengalamannya.

Tinggal di Indonesia ia pun mulai belajar mengenai Islam. Dua tahun berselang, 1996, ia mengikrarkan keislamannya. Saya menikah tak lama setelah itu, kami bepergian lagi, lalu menetap kembali di New York pada 2002 setelah sempat tinggal sebentar di Malaysia, Singapura, Australia dan Thailand pula.

Mengapa ia tertarik Islam? "Saya memiliki pemahaman mendalam tentang Katholik. Saya pikir yang membawa saya pada Islam ialah sifatnya yang logis. Sebagai insinyur, saya sangat mengapresiasi sesuatu yang logis," ungkap Yusuf.

"Itulah yang saya rasakan ketika saya berdiskusi tentang Islam dan tinggal di antara Muslim. Saya merasakan pula persaudaran yang mereka bagi dan itu benar-benar mendorong saya pula." tutur Yusuf.

Ketika ia pergi ke Australia dan Malaysia setelah menjadi Muslim, ia pun mempelajari Islam lebih dalam. "Saya mengambil kelas dan belajar dari orang lain, dan cara mereka membawakan kepada saya benar-benar menusuk dan menggugah kesadaran bahwa seperti inilah cara yang benar."

Setelah memeluk Islam, Yusuf Burke pun mengakui keluarganya begitu terkejut. "Namun saya pikir mereka bisa memahami keputusan saya," ucapnya. Keluarga Yusuf memiliki pikiran terbuka dan mereka selalu menghormati semua orang, terutama dari keyakinan monotheis.

"Saya pikir mereka memandang saya beribadah berdasar cara yang saya yakini dan mereka mengapresiasi itu," ungkapnya. Namun Yusuf pun merasa perlu menjelaskan kepada keluarganya mengapa ia memutuskan memeluk Islam. "Mungkin itu bisa menyingkirkan pula selip pemahaman yang kita miliki di Amerika Serikat mengenai Islam, dan luar biasa mereka sangat mendukung."

Kini Yusuf tak hanya seorang Muslim, ia pun aktif dalam kegiatan dan organisasi Islam. Saat ini ia menjadi direktur salah satu cabang Dewan Hubungan Amerika-Israel (CAIR) di AS. "Kami, bagian dari grup advokasi untuk Muslim Amerika, pada dasarnya berupaya mencoba menghapus beberapa selip pemahaman sekaligus membantu Muslim dalam kasus kebebasan atau hak-hak sipil," kata Yusuf. "Kami mencoba membawa Muslim duduk semeja dengan masyarakat AS dan mengenalkan mereka ke komunitas lebih luas."

Saat terjun berdakwah, ia mengkui bersama koleganya selalu berupaya mengusung cita rasa Islam ke Amerika. Perjuangan terhadap hak-hak dan kebebasan sipili warga Muslim adalah kegiatan utama. "Setiap Muslim yang didiskriminasi karena mereka Muslim baik di tempat kerja atau lembaga pemerintah, kami mencoba memantu mereka. Kini kami tengah menangani beberapa kasus semacam."

Meski ia mengakui diskriminasi terhadap minoritas kerap dijumpai, namun satu hal besar yang ia acungi jempol atas hidup di Amerika adalah hukum tentang kebebasan beragama dan akomodasi terhadap ibadah sesuai agamanya, terutama di tempat kerja.

"Namun masalahnya, banyak pekerja tak tahu ini dan kami membuat mereka paham apa itu ibadah dan seperti apa bentuk akomodasi terhadap agama, seperti ibadah shalat atau jilbab atau jenggot untuk pria. Kami terus sosialisasikan itu untuk memastikan mereka memahami dan mereka boleh meminta hak itu di tempat kerja," tutur Yusuf.

Dalam pengertian lain, banyak Muslim yang menghadapi masalah di tempat kerja karena atasan tak mengizinkan mereka shalat, berjilbab, atau bahkan menumbuhkan jenggot. "Itulah yang terjadi, seperti mengenakan jilbab dalam lingkungan kerja yang memiliki kebijakan mengenakan seragam. Padahal undang-undang berpihak pada kita dan itulah yang coba kami edukasikan," ujar Yusuf.

Usai berkali-kali menangani kasus dan membantu Muslim AS, Yusuf Braker, menyimpulkan mereka pun kini lebih sadar akan hak-hak sipil dan hukum mereka. "Mereka akan berjalan sesuai itu dan mencoba meminta akomodasi ketika dibutuhkan. Ada waktu juga ketika kami harus mengambil langkah hukum dan meminta mereka berkonsultasi pada pengacara. Tapi untungnya ini tidak kerap terjadi," tutur Yusuf.

Yusuf menyatakan mayoritas kasus yang pernah ia jumpai tidak benar-benar berdasar sikap bias tetapi hanya ketidakpedulian terhadap apa yang Islam butuhkan. "Jadi mereka harus memahami apa Islam itu dan apa tanggung jawab mereka di bawah hukum," ujarnya.

Ia juga mendorong Muslim untuk memiliki pemahaman lebih baik sebagai warga negara dan aktif di dalam pemerintah dalam hal mengenal wakilnya di legislatif, memahami isu yang terjadi di Amerika dan memberikan suara dengan benar.

Yusuf menilai Muslim di AS mesti mneyadari sebagai warga Amerika mereka harus tahu bagaimana mengungkapkan dan menyalurkan pendapat mereka serta tahu siapa orang yang mereka pilih.

Saat ini diakui Yusuf Muslim merasa tidak percaya diri bahwa mereka tak bisa mempengaruhi perubahan apa pun. Jadi tantangan terbesar adalah bagaimana ia menjelaskan pada mereka pentingnya untuk terlibat dalam semua aktivitas kewarganegaraan termasuk memberi suara

"Bahkan dalam skalan nasional anda memiliki satu suara, meski di sana ada ratusan juta orang di AS, namun satu suara dihitung. Bila anda menengok pada pemilu 2000 lalu, ketika seseorang memberikan suara lewat kabel mereka dihitung satu per satu. Inilah kekuatan suara." papar Yusuf.

"Kami mencoba memastikan anggota komunitas kami memahami isu ini dan demi apa perwakilan mereka duduk di kursi parlemen. Kami hanya mencoba membuat mereka paham pula hak-hak politik mereka, menjalani proses tersebut, memilih dengan benar dan apa yang mereka bela," imbuhnya

Mengapa seorang kaukasia berkulit putih seperti dirinya memilih Islam? Kulit putih justru menjadi minoritas di komunitas Muslim Amerika. Namun Yusuf memandang pemikiran mengenai Muslim berwarna dan Muslim kulit putih timbul akibat selip pemahaman hasil propaganda media.

"Jadi saya pikir ini memang sulit, terutama untuk Kaukasia untuk benar-benar melihat, merasakan dan larut dalam realitas Islam di sini. Ini pula yang kami coba atasi ketika kami berbicara dengan warga Muslim ketika kami memberikan presentasi kepada aparat penegakan hukum, rumah sakit dan area-area lain," kata Yusuf.

"Tujuan kami hanyalah menghilangkan mitos burung tentang Islam dan Muslim dan membantu mereka untuk memiliki pemahaman lebih baik terhadap Muslim," ujarnya. Sehingga, ia berharap, ketika mereka melintas dan bertemu Muslim baik di rumah, atau melihat seseorang berdoa di mobilnya mereka tidak curiga dengan apa yang Muslim lakukan.

"Kami juga jelaskan kami beribadah lima kali sehari. Kadang anda bisa melihat seseorang di mobil dan berpikir mereka menghantamkan kepala mereka ke setir, padahal ia hanyalah shalat di kendaraan. Itulah mengapa kami harus memberi tahu kepada penegak hukum dan orang-orang yang kami yakini akan kerap menjumpai hal ini dalam kehidupan sehari-hari," papar Yusuf.

Tak hanya itu, kini ia bersama koleganya juga mencoba menghapus makna salah dan negatif tentang Jihad. "Pemahaman bahwa itu adalah perang suci, sungguh salah. Dengan mengakui hak-hak wanita pula, kami sebagai Muslim mencoba menjelaskan bahwa wanita justru dilindungi dalam Islam, dan praktek-praktek selip yang sering muncul bukanlah berdasar agama, melainkan kebudayaan mereka," ujarnya.

Yusuf mengakui masih diperlukan banyak perjuangan di Amerika. "Namun saya berpikir masa depan cukup cerah di sini, selama kita setia terhadap prinsip Islam dan menjadi Muslim yang Baik."
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari

STMIK AMIKOM



Hj. Irene Handono (Han Hoo Lie)

‘Itu bukan sebuah pikiran. Tapi sebuah film di depan mata saya tentang hidup saya sendiri. Semua lengkap, sangat jelas.’

Ketika menjadi mualaf pada 1983 lalu, mantan biarawati Irene Handono, menyimpan perasaan bahwa Allah tidak adil terhadap dirinya. Ia terus bertanya dan berusaha mencari jawaban mengapa ia dilahirkan sebagai non-Muslim. ‘’Kenapa saya tidak dilahirkan dari keluarga Muslim yang taat. Apa alasan Allah menjadikan saya sebagai mantan kafir,’‘ kata pemilik nama asli Han Hoo Lie ini.

Hingga 1991, pertanyaan itu belum juga terjawab. Jawaban akan kegelisihan hatinya baru muncul ketika menunaikan ibadah haji pada 1992. Wanita berdarah Cina ini berangkat haji bersama 400 orang jamaah reguler lainnya yang tergabung dalam kloter 18 dari Embarkasi Surabaya.

Di Tanah Haram, jawaban dari Allah itu didapatkannya. ‘’Ternyata Allah sayang kepada saya. Allah memilih saya menjadi salah satu hamba pilihan,’‘ ujar Irene saat ditemui di kediamannya, di Bekasi, beberapa waktu lalu. Ketika berada di Tanah Haram, Irene kerap mengalami peristiwa yang dinilainya luar biasa. Ia berkisah, ketika berada di depan Ka’bah, dirinya mengambil tempat garis lurus sejajar dengan letak Hajar Aswad. Ia sempat menggigit lidahnya untuk membuktikan jika dirinya tidak sedang bermimpi.

Pendiri Irene Center ini menuturkan, selama melakukan ibadah di Masjidil Haram, ia kerap diperlihatkan gambaran seperti sebuah film tentang kronologi hidupnya dari kecil hingga dewasa. Bungsu dari lima bersaudara ini tak kuasa membendung tangis. Ia bersedih melihat gambaran tentang dirinya ketika masih menjadi non-muslim. ‘’Itu bukan sebuah pikiran. Tapi sebuah film di depan mata saya tentang hidup saya sendiri. Semua lengkap, sangat jelas,’‘ ungkapnya.

Saat diperlihatkan Allah tentang jalan hidupnya di masa lalu, putri pengusaha ini pun bersujud dan melakukan muhasabah. Dari instropeksinya, Irene mengikrarkan diri ingin mewadahi para mualaf agar terus eksis di jalan Allah. Menurutnya, selama ini, tak sedikit mualaf yang dibiarkan dan tidak dibimbing hingga keimanan dan keislamannya tetap dangkal. Bahkan ada yang kembali menjadi murtad.

Di Tanah Suci, mantan mahasiswi Institut Ilmu Filsafat Theologi ini juga mengalami peristiwa luar biasa. Menurutnya, dari Muzdalifah menuju Mina, kelompoknya terpecah menjadi dua. Ada yang naik bus, ada yang harus jalan kaki. Ia pun mengalah memberi kesempatan pada jamaah tua untuk naik bus. Akhirnya ia berjalan kaki bersama rombongan yang dipimpin seorang ustadz dari kloternya. Namun tiba-tiba, jalan yang dilewatinya dipenuhi lautan manusia. Ia pun terpisah dari kelompoknya. Di tengah kebingung - annya, ia mencoba mencari jalan sendiri menuju pemondokannya di Mina sambil terus berdoa, dan bertawakal.

Untuk menutupi rasa haus dan lapar, wanita kelahiran Surabaya 30 Juni 1954 ini hanya meminum air zamzam yang ternyata mampu membuatnya sangat kenyang. Di tengah upayanya dan terus berdoa, tiba-tiba ia merasa ada yang menuntunnya menuju sebuah masjid. Setelah menunaikan shalat di masjid tersebut, ia pun bertekad akan melanjutkan pencariannya. Namun begitu keluar dari masjid, di pintu gerbang ia melihat pemimpin rombongannya. Ia pun akhirnya menuju pemondokan dan ternyata rombongan yang menggunakan bus belum tiba. ‘’Ini sungguh di luar nalar, tapi itulah kenyataannya. Saat kelompok yang menggunakan bus tiba, justru banyak yang sakit,’‘ ujarnya.

Air matanya kembali berurai ketika esok harinya, ia menggunakan bus dan melewati jalur yang ditempuh ketika ia tersesat. Ternyata selama ketika tersesat, ia mengitari Kota Mina. ‘’Tapi ketika saya berjalan kaki cuma setengah jam. Bayangkan mengitari sebuah kota hanya setengah jam, Masya Allah,’‘ ujarnya. Wanita yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini mengaku, ada banyak hal ghaib yang sulit dianalisisnya selama di Tanah Suci. Hal itu membuatnya kembali merenung dan menyimpulkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala hal.c68/kem
Redaktur:

STMIK AMIKOM
Sumber : Republika

Dr. Muhammad Syafii Antonio 
Dalam usia belia pakar ekonomi Syari'ah Dr. Muhammad Syafii Antonio (38 tahun) menjadi mualaf meski ditentang keras oleh keluarganya yang menganut agama Kong Hu Chu.

Sejak pertama kali menjalan ibadah puasa di bulan Ramadhan ia selalu menetapkan target-target antara lain bisa mengkhatamkan al-Qur'an sebanyak tiga sampai empat kali dan dalam membaca beberapa buku selama satu bulan penuh selama Ramadhan.

"Perasaan ketika menyambut Ramadhan, seolah-olah seperti menyambut kedatangan tamu agung yang dinanti-nantikan, karena Islamnya baru, jadi semangatnya masih tinggi," katanya pada eramuslim saat ditemui di sela-sela kesibukannya dalam kegiatan Ramadhan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Ia mengaku, setelah satu bulan memeluk agama Islam, sekitar tahun 1984-1985, di usianya yang baru memasuki 18 tahun ia sudah langsung bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar dan selalu menyempatkan membacanya setiap hari, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Khusus pada bulan Ramadhan, Ia berusaha membacanya maksimal setengah juz sehabis sholat sehingga target tersebut dapat terlampaui.

"Namanya juga target, kadang terpenuhi kadang tidak, pernah suatu ketika, karena sudah mendekati Idul Fitri, masih tersisa 10 juz, sementara di rumah saya mati lampu, karena ingat harus selesai, akhirnya saya melanjutkan bacaan dengan bantuan penerangan lampu minyak tanah, saya membaca al-Qur'an semalaman, ketika sadar pagi harinya, hidung saya hitam semua terkena asap lampu minyak, tapi akhirnya beres juga," kenangnya sambil tertawa.

Ustadz Syafii mengatakan, ketika ia masuk Islam, semua teman-temannya sebayanya langsung tahu. Maklumlah, saat itu ia termasuk pemuda yang sangat aktif mengikuti berbagai pertandingan badminton antar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sukabumi.

"Karena mereka tahu dulunya saya anak Chinesse, ketika saya ke Masjid banyak yang pada melihat terutama anak wanita, lalu mereka berkata, 'Wah si cokin sudah Islam ya'," kisahnya.

Syafii mengaku sangat berat waktu pertama kali menjalankan ibadah puasa, karena ia harus menjalaninya seorang diri, di tengah lingkungan keluarga yang mayoritas non muslim. Ia juga mendapat tentangan keras dari kedua orang tuanya, namun Ia mencoba bersabar dalam menjalani ke-Islamannya. Saat itu ia berkeyakinan, karena perbedaan pandapat pada awal menjadi mualaf merupakan sunatullah.

"Dalam kehidupan terdapat perbedaan pendapat dan persepsi, kadang harus kita jalani dengan berat hati, tetapi saya coba untuk bersabar menjalaninya, karena cobaan yang saya alami belum seberapa dibandingkan cerita para sahabat yang sering saya baca," ungkap suami dari Mirna Rafki ini.

Ia mencoba memetik hikmah dari kemandiriannya. Ketika memutuskan untuk menjadi seorang Muslim, Syafii Antonio tidak lagi diakui anak oleh kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, ia pun meninggalkan rumah dan berhasil mendapakan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya.

"Saya pergi ke Pesantren An-Nizhom di Salabintana, Sukabumi, kemudian di sana saya mendapat bantuan tempat tinggal, meneruskan sekolah, mengaji dan setelah itu saya belajar ceramah, ilmu bahasa, tafsir dan hadist," ujar pria kelahiran 12 Mei 1967.

Setelah itu, Syafii sering ikut ustadznya berceramah di sana-sini. Karena rajinnya menyimak dan mencatat, hingga suatu saat ustadznya berhalangan, ia mencoba memberanikan diri berceramah menggantikan sang ustadz hingga sekarang Syafii dikenal sebagai da'i selain dikenal sebagai seorang pakar ekonomi Syari'ah.

Dr. Muhammad Syafii Antonio: Ramadhan Seperti Tamu Agung yang Dinanti-Nantikan
Ia mengatakan, kebiasanya membaca sejak usia balita membuat dirinya dipaksa dewasa lebih cepat. Selama dua tahun sebelum memeluk Islam, ia melakukan kajian terhadap Islam dengan membaca buku tentang perbandingan agama.

"Buku perbandingan agama itulah yang menggiring saya untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul. Saya membacanya berulang-ulang hingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Islam itu agama yang komprehensif, mendorong persamaan ras dan komprehensif mengatur kehidupan rumah tangga, bisnis, ekonomi, politik, hukum, bahkan mulai dari bangun tidur sampai masuk kamar mandi dan memimpin parlemen ada aturannya," papar ustadz penggemar masakan Sunda ini.

Lantas bagaimana dengan bulan Ramadhan kali ini? Apalagi yang masih menjadi obsesinya?

Menjawab pertanyaan itu, Syafii hanya mengatakan bahwa ia akan berusaha mengaplikasikan takwa dalam bentuk yang terukur. Yakni dapat membedakan halal dan haram yang menirutnya persoalan ini sering dilupakan oleh kita sebagai manusia.

"Salah satu penyakit terbesar bangsa ini adalah tidak memperdulikan mana yang halal dan yang haram. Tapi dengan berpuasa kita didorong untuk menghindari yang haram, belajar disiplin stop makan dan minum, memiliki jiwa amanah, karena merasa diawasi oleh Allah dan juga berusaha membangkitkan respons sosial melalui ibadah zakat dan shodaqoh, serta yang terpenting adalah bagaimana saya dapat mewujudkan la’allakum tattaquun," tandas Ustadz Syafii menutup perbincangan dengan eramuslim. (novel/ln/eramuslim)


Jadi Muslimah, Jessica Fay Tidak Lagi Dijuluki 'Si Blonde Bodoh'
Rabu, 07 Desember 2011 17:13 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, COLUMBIA - Rambut pirang Jessica Fay kini tertutup balutan kain. Ya, ia telah menjadi seorang Muslimah dan konsisten mengenakan jilbab. "Akhirnya, aku tidak lagi mendengar cemooh yang mengatakan diriku sebagai 'si pirang bodoh'," ungkap Jessica seperti dikutip columbiamissourian.com, Rabu (7/12).

Selama dua tahun terakhir, Jessica mendalami Islam. Ia tak mau hanya sekedar bersyahadat.Tak lama setelah menyatakan keislamannya, ia pun memutuskan mengenakan jilbab.

"Ada banyak alasan aku memutuskan mengenakan jilbab. Alquran telah mengajarkan bagaimana seorang Muslimah berpakaian yakni menutupi kepala sampai kaki, dengan sebagian besar lengan tertutup," kata dia.

Ia sadar putusannya menjadi Muslim dan mengenakan jilbab akan menarik perhatian lingkungan di sekitarnya. Ia pun menjadikan pandangan orang lain sebagai latihan memperkuat keimannya. "Aku merasa bahagia. Aku tidak lagi melihat pria melihat tubuhku. Mereka justru mengalihkan perhatian ke objek yang lain," kata dia.

Jessica mengaku semenjak mengenakan jilbab, ia merasa lebih terhormat dan bermartabat."AKu tidak perlu menunjukan bagian tubuhku untuk mendapatkan rasa hormat dari seorang pria," ungkapnya.

Kembali Muslim

Jessica butuh beberapa tahun untuk beradaptasi mengenakan jilbab. Ia mengawali jilbab saat umrah ke Tanah Suci. Di sana, Jessica kian mantap mendalami Islam. Ia kian kuat karena bertemu saudara-saudara seiman dari segala penjuru dunia.

Jessica lalu menyebut keputusannya berpindah agama merupakan proses pembalikan. "Dalam Islam, apa yang mereka yakini adalah semua bayi dilahirkan muslim. Jika keluarga mereka bukan Muslim, mereka belajar agama yang berbeda, maka saat ia menjadi Muslim artinya bukan berpindah tetapi kembali," katanya.

Bagi Jessica yang tidak dibesarkan dalam lingkungan Muslim, menjadi Muslim merupakan hal yang sulit. Ia harus melawan arus budaya yang berbeda jauh. Ia diwajibkan shalat lima waktu, tidak mengkonsumsi alkohol, berhubungan seks diluar nikah dan dilarang mengkonsumsi babi.

"Sulit awalnya," kata dia.

Namun, ia beruntung. Lingkungan tempat ia tinggal begitu terbuka dengan perubahan dirinya. Mereka bahkan tertarik untuk berdiskusi tentang Islam. "Aku seorang kulit putih. Mereka tentu penasaran dengan apa yang aku kenakan. Tapi aku senang, mereka begitu terbuka," kata dia.

Fay mengatakan ia berharap penampilannya akan membantu mereka yang tidak memahami Islam untuk mengajukan pertanyaan. Dia ingin menjadi Muslim yang baik dengan menjaga kehormatan agamanya.

"AKy berharap dapat berbicara banyak tentang Islam kepada mereka yang belum memahaminya. Aku sebenarnya orang yang pemalu tapi aku akan coba untuk menjalankan tugasku menyebarkan syiar Islam," ujarnya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko

STMIK AMIKOM

Kisah Muhamad dari Keluarga Zionis
Saat Remaja Ia Hampa dan Haus Spiritualitas


Sabtu, 17 Desember 2011 14:06 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, Dulu, bagi Muhammad, Islam hanya sebatas jawaban tentang kehampaan yang ada di hatinya. Meskipun sudah bersyahadat di tahun 1970-an ia tak lantas melakukan kewajiban shalat dan puasa. “Pada dasarnya, aku naif dan bodoh,” akunya.

Ia hanya merasa ingin menjadi muslim seperti orang-orang yang ia temui. Saat bekerja di Universitas New York, ia banyak bertemu dengan orang muslim yang menurutnya memiliki sikap kemurahan hati, kerendahan hati, dan berkarisma. “Aku ingin memeluk agama seperti orang-orang yang aku kagumi itu,” kata dia.

Ketidaktahuannya soal ibadah membuatnya sempat melalaikan kewajibannya ketika awal menjadi seorang Muslim. Namun, kini shalat dan puasa sudah menjadi kebutuhannya. Berdoa sekarang telah menjadi seperti ‘menyikat gigi ketika sehabis makan’, sesuatu yang spontan dilakukan.

Bahkan puasa Ramadhan kini menjadi ibadah yang ia nanti-nantikan saban tahun. Saat-saat membahagiakan adalah ketika bisa berkumpul dengan komunitas muslim.

Lahir sebagai seorang Yahudi, Muhammad tak pernah merasakan nikmatnya menjadi hamba Tuhan. Orang tuanya adalah Yahudi kelas menengah yang tinggal di New York. Keluarga itu, bukan keluarga penganut Yahudi biasa. “Keluargaku lebih dekat dengan Zionis,” ujarnya.

Ada kehampaan yang mulai merasuk dalam jiwanya ketika masa remajanya hampir habis. Muhammad tak pernah merasakan tumbuh dengan ajaran agama atau petunjuk Tuhan. Ia merasa haus kebutuhan spiritual

Saat memasuki masa kuliah, mulai mencari suatu kebahagiaan yang nilainya lebih dari sekedar materi. “Aku ingin sesuatu yang lebih dari sekedar mengejar gaya hidup materialistis,” kata dia. Ia tak merasa bahagia dengan mobil, televisi atau apapun yang sifatnya materi.

Saat kuliah, ia mencoba mencari jawab atas semaua rasa ingin tahunya tentang Tuhan. Ia banyak menghabiskan waktu dengan para filsuf dan dosen untuk mempelajari agama. Ia menghabiskan waktu dengan Dalai Lama, penganut Buddha, Hindu, anggota gereja dan para Rabi Yahudi. Dari sekian banyak agama yang ia pelajari. Namun saat itu belum pernah sekalipun ia berkenalan dengan Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Ia tak pernah mendengar tentang Islam sebelum bekerja di Universitas New York pada pertengahan tahun 1970-an. Islam adalah hal asing baginya. Pada awalnya ia pikir Islam agama yang terlalu banyak aturan. Banyak larangan ‘ini-itu’. “Saya tak yakin bisa menerima semua peraturan itu,” ujar dia.

Namun ketika telah mengenal ternyata aturan-aturan itu tak menjadi soal baginya. Islam melarang makan babi, minum alkohol, dan semua bukan hal berat karena pada dasarnya ia tak suka makan babi atau minum alkohol.

Ia jatuh cinta dengan Islam saat mengetahui banyak hal tentang kehidupan yang diajarkan oleh agama ini. ”Ada shalat, puasa dan beramal 2,5 persen dari kekayaan setiap tahun,” kata dia.

Satu hal yang benar-benar ia kagumi dalam Islam adalah tak ada jarak antara manusia dengan Tuhan. “Allah selalu menunjukkan dirinya.” Ia merasa dekat dengan Tuhan yang selama ini ia cari. Di dalam Alquran, semua isinya adalah bahwa Allah maha pemaaf. “Sebelum shalat kita juga melakukan wudhu untuk mengapus dosa-dosa kecil kita,” kata dia.

Muhammad yakin dengan keimanannya. Seuatu ketika seorang temannya Nasrani bertanya mengapa ia tidak memeluk Kristen. Dengan diplomatis ia berkata, “Kalau saya harus menyembah manusia, maka saya akan menyembah Adam. Yesus tidak memiliki ayah, Adam bahkan tak memiliki ayah dan ibu."


Sebagai seorang muslim, ia yakin bahwa apa yang diajarkan Yesus sebenarnya juga menyeru untuk menyembah kepada Allah saja.

Nikmat Islam yang dirasakannya ia coba tularkan juga kepada orang lain. Setelah memeluk Islam, ia sempat mendapat kesempatan bernilai dengan mengantarkan seorang nasrani menjemput hidayah.

Suatu hari di hari Jumat, Muhammad sedang berada di masjid. Ia tiba-tiba batuk cukup parah. Ia merasa perlu keluar dari masjid untuk mengambil air minum agar batuknya tak menganggu jamaah lain.

“Saat keluar, aku melihat ada seorang pria yang tertarik masuk Islam,” ujar dia. Pria yang ia temui di beranda masjid itu kebingungan bagaimana untuk berkomunikasi dengan orang muslim. “Ia tak tahu bagaimana caranya masuk masjid, ia juga tak tahu bagaimana bertanya soal Islam,” kata dia.

Muhammad lalu memperkenalkan kepada pria yang baru dikenalnya bagaimana cara berwudhu. Mereka ngobrol, Muhammad juga menunjukkan bagimana cara shalat. Ia memperkenalkan pria itu dengan para jamaah lain. “Alhamdulilah, ia kini memeluk Islam. Itu hidayah Allah, tapi mungkin melalui perantara diriku,” ujarnya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Dwi Murdaningsih

STMIK AMIKOM
Sumber : REPUBLIKA

Kisah Lia Rojas
Ingin Mendalami Agama yang Dianutnya, Ia Malah Terpikat Islam
Selasa, 20 Desember 2011 02:01 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Lia Rojas memeluk Islam sejak enam bulan lalu. Sebelumnya, wanita asal Dallas, Texas ini memeluk Katolik sejak kecil. Ia bersyahadat setelah mempelajari Islam selama satu tahun.

Rojas mengalami sebuah proses yang unik dalam menemukan Islam. Awalnya, ia yang seorang calon guru agama Katolik berniat mempelajari lebih dalam ajaran agama yang dianutnya sebagai bekal memberikan ajaran kepada murid-muridnya.

Rencananya, ia akan membawakan materi ‘Mengapa Katolik’. Sebelum memeberikan materi itu, ia benar-benar mempersiapkan diri. Hampir delapan bulan ia berupaya membekali diri untuk mengajar. Siapa sangka, saat ia berniat mempelajari lebih dalam agama Katolik, ia justru ‘tersandung’ Islam.

Sempat ia bercerita kepada temannya yang muslim, sang kawan semakin ‘mendorongnya’ kepada cahaya Islam. “Saya punya beberapa teman Muslim tapi saya tidak tahu mereka adalah Muslim. Saya memberitahu mereka tentang kelas saya dan bagaimana saya sedang belajar tentang Islam,” ujar Rojas.

Rojas lalu diberi salinan Alquran dalam bahasa Inggris yang kemudian ia pelajari lebih jauh. Selama waktu delapan bulan itu, ia justru lebih banyak mempelajari Islam dibanding mendalami agama Katolik.

Sebuah proses menuju cahaya Islam yang ditemukan dengan jalan yang tak pernah ia pikirkan. Sejak saat itu, ia tak lagi pergi ke gereja. Ia malah membatalkan mengajar kelas Katolik, tugas yang awalnya dipercayakan padanya.

Hampir seperti mualaf lain, Rojas juga mempelajari Alquran melalui internet. “Kemudian saya mulai mengunjungi ke masjid,” ujar dia.

Saat menemukan hidayah Islam, Rojas kini beranggapan Allah-lah yang telah menyelamatkannya dari segala kebutaan yang pernah ia lalui. “Sebelumnya kita berdoa kepada Maria atau Yesus untuk menolong kita. Aku berumur 40 tahun dan aku nyaris tidak menyadarinya (kesalahan dalam berdoa),” ujar dia.

Ia kini menyadari Maria adalah ibu dari Yesus Kristus, tapi Maria bukanlah ibu dari Tuhan. “Aku hanya tidak bisa percaya bahwa selama ini aku begitu buta,” kata dia.
REPUBLIKA.CO.ID, Banyak hal yang tak bisa diungkapkan Lia Rojas, mualaf asal Dallas, Texas, ketika pertama kali mengucapkan syahadat. “Sangat istimewa. Itu sangat luar biasa,” ujar dia.

Rojaz mengakui memang sulit pada awalnya menerima respon keluarga dan teman. Tapi sejak pikirannya terbuka ia yakin tak mungkin lagi terus bertahan dengan agama Katolik yang dianutnya. Awalnya memang banyak teman yang tiba-tiba menjuh, tapi itu bukanlah masalah bagi Rojas.

Ketika pertama kali mengucapkan syahadat, kondisi Rojas sangat jauh berbeda dibandingkan yang sekarang. Sekarang ia mengenakan jilbab. Dulu, ia masih suka mengenakan celana pendek dan tank top.

Ada kejadian yang cukup aneh ketika awal memeluk Islam. Ketika itu, ia berniat pergi berbelanja, ia tiba-tiba terpaku di dalam mobil. “Ketika hendak turun dari mobil untuk berbelanja, aku tiba-tiba merasa malu melihat kakiku (masih terbuka),” kata dia.

Ia begitu terpaku hingga tak bisa keluar dari mobil. Tiga kali mencoba keluar, namun ia merasa tak kuasa. Ia mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja ia merasa malu dengan apa yang ia kenakan di badan. “Saya pulang ke rumah dan menangis,” kata dia. Itulah awal mula Rojas mulai berkenalan dengan jilbab.

Ia yang kini telah menjadi seorang muslim hanya bersyukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan. “Alhamdulillah, jika aku mati hari ini aku akan mati sebagai seorang Muslim,” ujar dia.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Dwi Murdaningsih

STMIK AMIKOM